Tidak banyak yang tahu bahwa di Taman Nasional Takabonerate,
Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, terbentang atol alias
pulau karang terluas ke-3 di dunia setelah Kwajalein di Kepulauan
Marshall dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Jika Anda telanjur
mengunjungi pusat pembuatan perahu pinisi di Bulukumba, sempatkanlah
menyeberang dan melanglang ke perairan ini.
Ombak yang
menampar-nampar kapal kayu berpenumpang 20 orang itu perlahan menjinak.
Mata para pelancong terpaku pada lautan yang berpendar dari kejauhan.
Gradasi air berwarna biru dan hijau mengepung koral yang menyembul.
”Wow, is that atoll?” tanya Piotr Kordas (30), turis asal Polandia
dengan nada kagum.
Atol adalah salah satu jenis pulau karang yang terbentuk dari kerangka makhluk-makhluk laut yang renik.
Dengan
luas mencapai 220.000 hektar, atol di Laut Flores ini bak untaian
lapislazuli dan zamrud yang ”disemat” di hamparan lautan. Bahkan,
foto-foto yang tersebar di berbagai laman internet pun tidak mampu
menyaingi sensasi ketika menyaksikan atol ini secara langsung.
Sebagai
gambaran awal, tengoklah peta. Dari Makassar melajulah 240 kilometer ke
arah tenggara atau lima jam perjalanan darat hingga Kabupaten
Bulukumba. Dari sana, Anda bisa menyeberang melalui Pelabuhan Bira
menuju Pelabuhan Pamatata, Kepulauan Selayar, yang berjarak 80 kilometer
atau sekitar dua jam perjalanan dengan kapal cepat.
Setiba di
Pamatata, lanjutkan perjalanan darat sejauh 60 kilometer atau sejam
menuju Benteng, ibu kota Kabupaten Kepulauan Selayar. Lalu, dari Dermaga
Pattumbukang di Benteng, pengunjung kembali menyeberang ke kawasan
Takabonerate. Dua pulau yang bisa jadi pilihan ialah Jinato dan Tinabo
Besar yang sama-sama harus ditempuh melalui delapan jam pelayaran dengan
kapal kayu.
Guna menghemat waktu, tersedia pesawat Sabang Merauke
Air Charter yang melayani rute Makassar-Selayar. Dengan pesawat
berpenumpang 22 orang ini, Anda bisa tiba di Bandara Aroepalla, Selayar,
dalam waktu 40 menit.
Pelayaran ke Takabonerate sebetulnya sebanding dengan pengalaman di kapal. Saat Kompas
bertandang dalam rangka Festival Takabonerate, 19-22 November lalu,
cuaca cerah dan lautan relatif tenang. Namun, Gubernur Sulsel Syahrul
Yasin Limpo harus berhadapan dengan cuaca buruk dan ombak besar sehingga
akhirnya memilih menaiki helikopter menuju ke Pulau Jinato.
Cuaca
dan ombak yang tidak bisa diprediksi adalah salah satu tantangan untuk
menuju ke lokasi ini. Anda yang memilih jalur laut sebaiknya menyiapkan
nyali atau setidaknya obat antimabuk.
Surga atol
Sesuai
dengan namanya, Takabonerate memiliki arti pulau karang di atas pasir.
Jenis karang yang ada di kawasan ini ialah terumbu karang penghalang (barrier reef), terumbu karang tepi (fringing reef), dan terumbu karang cincin (atoll).
Ketiga
jenis karang tersebut disusun oleh keanekaragaman hayati, mulai dari
karang hidup, karang mati, alga, padang lamun, hingga gundukan pasir
atau bungin (sand dunes). Karang inilah rumah bagi sedikitnya
362 spesies ikan karang, seperti dari famili Chaetodontidae, Labridae,
Scaridae, dan 261 jenis karang.
Datang ke Takabonerate berarti
menyiapkan diri untuk wisata bahari yang menantang. Selain atol, di
taman nasional terdapat 21 gugusan pulau yang tujuh di antaranya
berpenghuni. Untuk menjelajahinya, satu-satunya pilihan tentu kapal kayu
bermesin.
Salah satu tujuan di Takabonerate tentulah Pulau Tinabo
Besar, suguhan wisata utama di kawasan ini. Dari kejauhan, dermaga
kayu, deretan pulau kelapa, dan pasir putih selembut terigu seakan
melambai-lambai untuk segera dihampiri.
Air jernih dan karang
lunak bisa kita nikmati dengan mata telanjang. Tak heran Piotr Kordas
pun tergoda langsung menjajal snorkeling di tempat ini.
Dibandingkan
dengan pulau lainnya, baru Pulau Tinabo besar yang sudah dilengkapi
penginapan dan pos pemantauan yang dikelola Balai Taman Nasional
Takabonerate. Bertolak dari sini, pengunjung bisa menuju ke-22 titik
penyelaman untuk mengeksplorasi panorama bawah laut, termasuk melihat
ikan hiu (Sphyrna spp) hingga kerapu dari jarak dekat.
Berbagai
kegiatan juga disiapkan untuk mengisi waktu, seperti menanam pohon
ketapang dan transplantasi karang. Keindahan pulau ini bahkan bisa
dinikmati dengan berjalan menyusuri pantai seluas lima hektar ini.
Tinabo Besar adalah pilihan jika ingin menenggelamkan diri dalam kedamaian pulau. Pengunjung bisa mengambil paket wisata yang ditawarkan Balai TN Takabonerate dengan tarif Rp 800.000-Rp 1 juta per hari. Ini sudah termasuk biaya transportasi dari Benteng ke Tinabo, akomodasi, konsumsi, dan pengantaran ke titik penyelaman. Beberapa agen wisata yang dikelola pengusaha asing pun menawarkan paket serupa, tetapi tentu dalam kurs dollar AS.
Jika menginginkan liburan yang berkesan, tinggallah di
rumah penduduk untuk menyelami keseharian suku Bugis dan Bajoe yang
menetap di pulau. Beberapa pulau yang umumnya dikunjungi turis ialah
Pulau Jinato dan Pulau Rajuni.
Pulau Jinato dihuni 1.327 penduduk
yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Tempat ini pula yang menjadi
tuan rumah Festival Takabonerate. Penduduk menerima tamu yang datang
untuk menginap di rumah mereka. Pada waktu senggang, Anda bisa
bercengkerama dengan penduduk yang dengan senang hati akan menyuguhkan
kopi atau teh.
Perjuangan
Melancong ke
Takabonerate memang membutuhkan perjuangan dan kesabaran. Keterbatasan
sarana dan prasarana, seperti air tawar, resor, dan sinyal
telekomunikasi di pulau, adalah tantangan untuk mengembangkan
pariwisata. Kapal laut sebagai satu-satunya andalan untuk menuju
Takabonerate harus disewa dengan biaya mencapai Rp 2 juta karena belum
ada pelayaran reguler.
Lama dan mahalnya perjalanan membuat turis
kadang lebih memilih berwisata di Selayar yang tak kalah menggoda.
Kawasan pantai timur Selayar, misalnya, dikenal sebagai titik penyelaman
para pencandu selam.
Jowvy Kumala (41), karyawan perusahaan
telekomunikasi di Makassar, menyempatkan diri menyelam di kawasan pantai
timur sebelum ke Takabonerate. ”Biotanya menarik karena banyak ikan
besar. Serasa di kampung ikan bisa melihat hiu sirip putih dan ikan
bumphead dari dekat,” ujar perempuan yang pernah menyelam di Taman
Nasional Bunaken dan Raja Ampat tersebut.
Wisata di Selayar bisa
menjadi pelipur lara bagi yang gagal bertolak ke Takabonerate. Inilah
setidaknya misi yang tengah diemban pemerintah setempat. ”Untuk
membangun wisata bahari, kami mulai dari Selayar dulu karena untuk ke
Takabonerate memang sulit,” ujar Bupati Selayar Syahrir Wahab.
Di
Selayar, jangan lupa membeli emping, salah satu oleh-oleh-oleh khas.
Lalu, ketika kembali ke Bulukumba, sempatkan singgah di Semenanjung Bira
yang dikenal sebagai pusat pembuatan perahu pinisi. Di kawasan ini juga
tersedia miniatur pinisi untuk buah tangan.
Dengan emping, miniatur pinisi, dan pelayaran yang menantang, tentulah Anda sulit melupakan sensasi Selayar dan sekitarnya.
No comments:
Post a Comment