Khusus
mengenai bentuk negara, antara bentuk republik atau kerajaan, dapat pula kita menghubungkannya
dengan perdebatan yang tak kunjung tuntas mengenai konsep Negara Islam yang
biasa dinisbatkan dengan ide internasionalisme dan konsep khilafah. Seperti sudah
dijelaskan di atas, kita harus membedakan antara pengertian ‘khalifatullah’ dan ‘khalifaturrasul’. Khalifatullah adalah konsep tentang kedudukan
setiap manusia di mata Allah. Di mata Allah, manusia tidak lain adalah
hamba-Nya dan sekaligus khalifah-Nya. Sebagai objek kita adalah hamba Allah
yang wajib tunduk pasrah kepada Allah, sedangkan sebagai subjek kita adalah
khalifah pengolah dan pengelola alam semesta untuk kehidupan bersama.
Dari
konsepsi kekhalifahan manusia itu kita dapat mengembangkan gagasan-gagasan
berorganisasi yang kita nisbatkan sebagai sistem demokrasi. Sedangkan itu, dari
konsepsi mengenai kepemimpinan oleh sistem aturan atau sistem hukum, kita dapat
mengembangkan pengertian mengenai gagasan negara hukum atau nomokrasi.
Sementara itu, dari konsepsi mengenai ‘khalifatullah’
kita dapat mengembangkan konsep-konsep dasar tentang otonomi dan kebebasan
setiap manusia yang menjadi dasar filosofis bagi dikembangkannya sistem
demokrasi dalam tradisi Islam. Namun, dari konsepsi mengenai ‘khalifaturrasul’, kita justru dapat
menemukan pengertian sistem kepemimpinan model baru yang di zaman nabi sama
sekali belum ada contohnya dalam sejarah umat manusia.
Pemimpin
suatu kaum atau komunitas yang dalam pengertian modern yang berkembang semakin
kompleks dapat kita kaitkan dengan pengertian kepemimpinan negara. Pemimpin
negara itu dalam tradisi kekhalifahan dipahami sebagai pejabat pengganti
rasulullah dalam memimpin jamaah kaum Muslimin dalam berorganisasi negara. Jika
sebelum Islam, para pemimpin negara itu selalu diangkat berdasarkan keturunan,
maka sejak zaman nabi dan khulafaurrasyidin, pergantian kepemimpinan terjadi
tidak berdasarkan hubungan darah, melainkan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat rasional dan melalui proses pengambilan
keputusan yang bersifat demokratis melalui permusyawaratan substantif.
Karena itu, menurut pendapat saya,
bentuk kekhalifahan organisasi Negara di masa-masa awal pertumbuhan Islam,
khusus yang tercermin dalam lima khalifah pertama, tidak lain adalah bentuk
negara republik. Kelima khalifah pertama itu adalah (i) Abubakar Siddik, (ii)
Umar ibn Khattab, (iii) Usman ibn Affan, dan (iv) Ali ibn Abi Thalib, serta (v)
Mu’awiyah ibn Abi Sofyan. Meskipun yang biasa disebut sebagai khulafaurrasyidin
hanya empat saja, yaitu tidak termasuk Mu’awiyah ibn Abi Sofyan, tetapi
setidaknya pengangkatan Mu’awiyah menjadi khalifah sesudah Ali ibn Abi Thalib
juga tidak didasarkan atas hubungan keturunan dengan Ali ibn Abi Thalib.
Mu’awiyah sendiri dapat dianggap menyalahgunakan kekuasaan yang direbutnya dengan
penuh kelicikan dan dengan kembali menghidupkan tradisi kerajaan seperti yang
dipraktikkan di zaman jahiliyah, sehingga kepemimpinannya diteruskan secara
turun temurun oleh anak dan cucunya sendiri. Mu’awiyah sendiri ditetapkan
menjadi Khalifah penerus Khalifah Ali ibn Abi Thalib melalui kudeta berdarah
sebagai salah satu contoh pola suksesi atau pergantian kekuasaan yang sering
terjadi dalam semua tradisi dan dalam semua sistem.
Kudeta
itu sendiri sering terjadi dalam sejarah umat manusia dimana saja, baik dalam
sistem kerajaan maupun dalam sistem republik. Namun, sebelum zaman Islam,
kudeta hanya terjadi dalam sistem kerajaan. Raja yang satu ditumbangkan,
diganti dengan raja yang baru. Dari waktu ke waktu, dinasti demi dinasti datang
dan pergi sebagaimana digambarkan dalam buku Mukaddimah Ibnu Khaldun dan buku
Le Prince karya Nicolo Machiavelli.
Sebelum
Islam, dapat dikatakan bahwa praktik pergantian kekuasaan di mana-mana hanya
terjadi melalui cara turun temurun atau melalui perebutan kekuasaan (kudeta). Memang
benar dalam bukunya “Republics”,
Plato mengidealkan negara “res publica”
atau negara yang mencerminkan kekuasaan oleh rakyat, kekuasaan oleh public
seperti yang tercermin dalam istilah ‘republik’. Namun yang memimpin negara
dimaksud tetaplah seorang raja atau ratu. Hanya saja, yang diimpikan oleh Plato
untuk menjadi pemimpin yang ideal itu adalah seorang “Philofopher’s King”, yaitu seorang raja filosof. Karena itu, negara
yang ideal itu tetap saja berbentuk kerajaan yang dipimpin oleh raja atau ratu.
Lagi
pula, impian Plato tentang “res publica”
itu barulah dalam tataran wacana filosofis. Dalam praktik sistem organisasi
bernegara di Athena, di Sparta, dan di tempat-tempat lain di dunia ketika itu,
tetap lah merupakan bangun organisasi yang berbentuk kerajaan dengan proses
pergantian kekuasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara
turun-temurun. Memang banyak terjadi pergantian kepemimpinan melalui perebutan
kekuasaan atau kudeta di sepanjang sejarah umat manusia. Fenomena kudeta itu
betapapun merupakan penyimpangan dari tradisi yang baku. Hal ini memang sering
terjadi dalam sejarah, tidak saja di lingkungan kerajaan tetapi juga di
lingkungan siste pemerintahan non-kerajaan. Dengan perkataan lain, konsepsi tentang
republik di zaman Yunani kuno itu seperti yang diimpikan oleh Plato itu belum
lah menjadi gambaran kenyataan ketika itu dan bahkan di masa-masa sesudahnya.
Hanya
saja, dalam sistem pemerintahan kerajaan yang disebut oleh Plato dengan ‘res publica’ itu dibayangkan bahwa dalam
penyelenggaraan kekuasaan sehari-hari sudah dengan sendirinya raja harus
menyerap aspirasi rakyat banyak untuk kepentingan umum. Karena para raja,
bagaimanapun juga memang haruslah melayani kepentingan rakyat, bukan melayani
kepentingannya sendiri. Oleh sebab itu, yang ideal diangkat menjadi raja
menurut Plato haruslah mereka yang memenuhi kualifikasi sebagai filosof, yang
memiliki kecerdasan dan pemahaman yang luas dan mendalam mengenai
masalah-masalah kepentingan umum. Demonstrasi rakyat kota, perlawanan mereka,
dan bahkan kekuatan mereka dapat menumbangkan kekuasaan raja, meskipun dari
perlawanan itu akan muncul raja baru yang nantinya juga akan mewariskan tahta
yang dikuasainya kepada anak-cucunya sendiri untuk generasi berikutnya.
Dalam
kaitan itulah maka praktik yang terjadi pada awal perkembangan sejarah Islam,
mulai dari masa kepemimpinan nabi Muhammad sampai tampilnya Mu’awiyah ibn Abi
Sofyan menjadi Khalifah dinasti Ummaiyah pertama, sungguh sangat penting untuk
dicatat secara tersendiri. Tampilnya Muhammad menjadi pemimpin, di samping
sebagai nabi dan rasul tidak didasarkan atas keturunan, melainkan karena adanya
‘social trust’ dan ‘social support’ dari masyarakat. Karena
itu, bagi Montgomery Watt, kedudukan Muhammad ketika itu adalah nabi/rasul
(Prophet) dan sekaligus merupakan negarawan (statesman)[1].
Demikian pula tampilnya Abubakar Siddik menjadi Khalifah didasarkan atas “bai’at” atau konkritnya berdasarkan
pemilihan umum yang bersifat langsung dan terbuka yang dimotori oleh Umar ibn
Khattab.
Banyak
orang yang salah memahami konsepsi “bai’at”
itu yang sebenarnya. Dalam praktik, tokoh-tokoh pergerakan biasa menggunakan
istilah “bai’at” itu untuk mengambil
sumpah agar para pengikutnya tunduk dan taat kepada pimpinan yang membai’at.
Kebiasaan demikian ini tentu saja sangat salah. Bai’at itu sendiri yang benar
adalah seperti yang dilakukan Umar ibn Khattab ketika membai’at Abubakar Siddik
menjadi khalifah pengganti nabi. Sesudah Umar ibn Khattab menyatakan “bai’at”
nya maka para sahabat lainnya berbondong-bondong menyatakan dukungan juga
kepada Abubakar dan membai’atnya menjadi khalifah. Dengan perkataan lain,
bai’at kepemimpinan itu bukanlah tindakan atas kepada bawahan, melainkan
sebaliknya dari bawahan kepada atasan. Dengan bai’at itu lah rakyat menyatakan
dukungannya kepada khalifah, persis seperti pemungutan suara dengan mana rakyat
menentukan pilihannya untuk mengangkat seseorang menjadi pemimpin yang mereka
percayai.
Oleh
karena itu, sistem bai’at yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab kepada Abubakar
Siddik itu, menurut pendapat saya, dapat disebut sebagai cikal bakal sistem
pemilihan kepala negara yang pertama dalam sejarah umat manusia. Karena itu,
sistem khilafaturrasul yang dipraktikkan di zaman sepeninggal nabi Muhammad
tidak lain dan tidak bukan adalah sistem republik yang diimpikan Plato di zaman
Yunani kuno. Impian Plato tentang “res
publica” dituliskannya dalam buku “Republics”
belum dapat dipraktikkan di zamannya. Impiannya itu baru dipraktikkan setelah
masa nabi Muhammad menjadi pemimpin yang kemudian setelah meninggal dunia
digantikan oleh Khalifah Abubakar Siddik.
Sejak
Abubakar dipilih menjadi khalifah, 4 khalifah berikutnya juga ditabalkan
menjadi “amirul mu’minin” dengan cara
yang tidak bersifat turun temurun. Bersamaan dengan itu, seperti sudah
diuraikan di atas mengenai pandangan Islam mengenai tradisi demokrasi pada
bagian terdahulu, semua masalah yang menyangkut kepentingan umum selalu
diputuskan oleh para khalifah secara musyawarah dengan melibatkan pihak-pihak
yang terkait sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan. Hal demikian ini tidak
lain merupakan sistem demokrasi yang bersifat substantif dalam proses
pengambilan keputusan yang dipraktikkan dalam tradisi politik Islam sejak zaman
nabi.
Karena
itu, konsep Khilafah Islamiyah sebenarnya tidak lain merupakan konsep republik
seperti yang diimpikan Plato dan seperti yang pertama kali diterapkan dalam
praktik di zaman nabi Muhammmad dan masa khulafaurrasyidin. Dengan demikian,
sudah seharusnya perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai pengertian “Khilafah Islamiyah” yang bersifat global
seperti yang diimpikan oleh banyak kalangan segera diakhiri saja. Suatu
republik, jika berkembang maju dan kuat dapat saja meluas pengaruhnya ke
seluruh dunia. Misalnya republik Amerika Serikat yang ada sekarang sangat luas
pengaruh kekuasaannya di seluruh dunia. Jika ada satu-dua republik yang
mayoritas penduduknya adalah umat Islam, lalu berkembang sangat maju dan kuat,
baik secara militer, secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan, maka negara
Muslim dimaksud tidak sulit untuk berperan seperti satu kekhalifahan yang kuat
seperti di masa-masa lalu, yaitu kekhalifahan Islam antara abad ke-6 sampai
dengan abad ke-13, atau setidaknya seperti kekhalifahan Ottoman sampai abad
ke-19 dan sebelum Perang Dunia Pertama yang masih dikenal sangat kuat
pengaruhnya di dunia.
Tradisi-tradisi
yang tumbuh dan hidup dalam sejarah Islam dapat ditafsirkan tidak menolak
sistem republik. Bahkan tradisi Islam itu lah yang justru pertama kali menerapkan
prinsip-prinsip yang di kemudian hari kita kenal sebagai konsep republik dan
konsep demokrasi. Konsep republik yang diidealkan dan konsep demokrasi yang
dipandang buruk di masa Plato, justru dipraktikkan dengan baik di masa awal
perkembangan Islam, dan dari sana terus dikembangkan menjadi tradisi politik
modern sampai dengan sekarang.
No comments:
Post a Comment