Saturday, December 10, 2011

Bentuk Khalifah dan Republik


Khusus mengenai bentuk negara, antara bentuk republik atau kerajaan, dapat pula kita menghubungkannya dengan perdebatan yang tak kunjung tuntas mengenai konsep Negara Islam yang biasa dinisbatkan dengan ide internasionalisme dan konsep khilafah. Seperti sudah dijelaskan di atas, kita harus membedakan antara pengertian ‘khalifatullah’ dan ‘khalifaturrasul’. Khalifatullah adalah konsep tentang kedudukan setiap manusia di mata Allah. Di mata Allah, manusia tidak lain adalah hamba-Nya dan sekaligus khalifah-Nya. Sebagai objek kita adalah hamba Allah yang wajib tunduk pasrah kepada Allah, sedangkan sebagai subjek kita adalah khalifah pengolah dan pengelola alam semesta untuk kehidupan bersama.
Dari konsepsi kekhalifahan manusia itu kita dapat mengembangkan gagasan-gagasan berorganisasi yang kita nisbatkan sebagai sistem demokrasi. Sedangkan itu, dari konsepsi mengenai kepemimpinan oleh sistem aturan atau sistem hukum, kita dapat mengembangkan pengertian mengenai gagasan negara hukum atau nomokrasi. Sementara itu, dari konsepsi mengenai ‘khalifatullah’ kita dapat mengembangkan konsep-konsep dasar tentang otonomi dan kebebasan setiap manusia yang menjadi dasar filosofis bagi dikembangkannya sistem demokrasi dalam tradisi Islam. Namun, dari konsepsi mengenai ‘khalifaturrasul’, kita justru dapat menemukan pengertian sistem kepemimpinan model baru yang di zaman nabi sama sekali belum ada contohnya dalam sejarah umat manusia.
Pemimpin suatu kaum atau komunitas yang dalam pengertian modern yang berkembang semakin kompleks dapat kita kaitkan dengan pengertian kepemimpinan negara. Pemimpin negara itu dalam tradisi kekhalifahan dipahami sebagai pejabat pengganti rasulullah dalam memimpin jamaah kaum Muslimin dalam berorganisasi negara. Jika sebelum Islam, para pemimpin negara itu selalu diangkat berdasarkan keturunan, maka sejak zaman nabi dan khulafaurrasyidin, pergantian kepemimpinan terjadi tidak berdasarkan hubungan darah, melainkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat rasional dan melalui proses pengambilan keputusan yang bersifat demokratis melalui permusyawaratan substantif.
            Karena itu, menurut pendapat saya, bentuk kekhalifahan organisasi Negara di masa-masa awal pertumbuhan Islam, khusus yang tercermin dalam lima khalifah pertama, tidak lain adalah bentuk negara republik. Kelima khalifah pertama itu adalah (i) Abubakar Siddik, (ii) Umar ibn Khattab, (iii) Usman ibn Affan, dan (iv) Ali ibn Abi Thalib, serta (v) Mu’awiyah ibn Abi Sofyan. Meskipun yang biasa disebut sebagai khulafaurrasyidin hanya empat saja, yaitu tidak termasuk Mu’awiyah ibn Abi Sofyan, tetapi setidaknya pengangkatan Mu’awiyah menjadi khalifah sesudah Ali ibn Abi Thalib juga tidak didasarkan atas hubungan keturunan dengan Ali ibn Abi Thalib. Mu’awiyah sendiri dapat dianggap menyalahgunakan kekuasaan yang direbutnya dengan penuh kelicikan dan dengan kembali menghidupkan tradisi kerajaan seperti yang dipraktikkan di zaman jahiliyah, sehingga kepemimpinannya diteruskan secara turun temurun oleh anak dan cucunya sendiri. Mu’awiyah sendiri ditetapkan menjadi Khalifah penerus Khalifah Ali ibn Abi Thalib melalui kudeta berdarah sebagai salah satu contoh pola suksesi atau pergantian kekuasaan yang sering terjadi dalam semua tradisi dan dalam semua sistem.
Kudeta itu sendiri sering terjadi dalam sejarah umat manusia dimana saja, baik dalam sistem kerajaan maupun dalam sistem republik. Namun, sebelum zaman Islam, kudeta hanya terjadi dalam sistem kerajaan. Raja yang satu ditumbangkan, diganti dengan raja yang baru. Dari waktu ke waktu, dinasti demi dinasti datang dan pergi sebagaimana digambarkan dalam buku Mukaddimah Ibnu Khaldun dan buku Le Prince karya Nicolo Machiavelli.
Sebelum Islam, dapat dikatakan bahwa praktik pergantian kekuasaan di mana-mana hanya terjadi melalui cara turun temurun atau melalui perebutan kekuasaan (kudeta). Memang benar dalam bukunya “Republics”, Plato mengidealkan negara “res publica” atau negara yang mencerminkan kekuasaan oleh rakyat, kekuasaan oleh public seperti yang tercermin dalam istilah ‘republik’. Namun yang memimpin negara dimaksud tetaplah seorang raja atau ratu. Hanya saja, yang diimpikan oleh Plato untuk menjadi pemimpin yang ideal itu adalah seorang “Philofopher’s King”, yaitu seorang raja filosof. Karena itu, negara yang ideal itu tetap saja berbentuk kerajaan yang dipimpin oleh raja atau ratu.
Lagi pula, impian Plato tentang “res publica” itu barulah dalam tataran wacana filosofis. Dalam praktik sistem organisasi bernegara di Athena, di Sparta, dan di tempat-tempat lain di dunia ketika itu, tetap lah merupakan bangun organisasi yang berbentuk kerajaan dengan proses pergantian kekuasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara turun-temurun. Memang banyak terjadi pergantian kepemimpinan melalui perebutan kekuasaan atau kudeta di sepanjang sejarah umat manusia. Fenomena kudeta itu betapapun merupakan penyimpangan dari tradisi yang baku. Hal ini memang sering terjadi dalam sejarah, tidak saja di lingkungan kerajaan tetapi juga di lingkungan siste pemerintahan non-kerajaan. Dengan perkataan lain, konsepsi tentang republik di zaman Yunani kuno itu seperti yang diimpikan oleh Plato itu belum lah menjadi gambaran kenyataan ketika itu dan bahkan di masa-masa sesudahnya.
Hanya saja, dalam sistem pemerintahan kerajaan yang disebut oleh Plato dengan ‘res publica’ itu dibayangkan bahwa dalam penyelenggaraan kekuasaan sehari-hari sudah dengan sendirinya raja harus menyerap aspirasi rakyat banyak untuk kepentingan umum. Karena para raja, bagaimanapun juga memang haruslah melayani kepentingan rakyat, bukan melayani kepentingannya sendiri. Oleh sebab itu, yang ideal diangkat menjadi raja menurut Plato haruslah mereka yang memenuhi kualifikasi sebagai filosof, yang memiliki kecerdasan dan pemahaman yang luas dan mendalam mengenai masalah-masalah kepentingan umum. Demonstrasi rakyat kota, perlawanan mereka, dan bahkan kekuatan mereka dapat menumbangkan kekuasaan raja, meskipun dari perlawanan itu akan muncul raja baru yang nantinya juga akan mewariskan tahta yang dikuasainya kepada anak-cucunya sendiri untuk generasi berikutnya.
Dalam kaitan itulah maka praktik yang terjadi pada awal perkembangan sejarah Islam, mulai dari masa kepemimpinan nabi Muhammad sampai tampilnya Mu’awiyah ibn Abi Sofyan menjadi Khalifah dinasti Ummaiyah pertama, sungguh sangat penting untuk dicatat secara tersendiri. Tampilnya Muhammad menjadi pemimpin, di samping sebagai nabi dan rasul tidak didasarkan atas keturunan, melainkan karena adanya ‘social trust’ dan ‘social support’ dari masyarakat. Karena itu, bagi Montgomery Watt, kedudukan Muhammad ketika itu adalah nabi/rasul (Prophet) dan sekaligus merupakan negarawan (statesman)[1]. Demikian pula tampilnya Abubakar Siddik menjadi Khalifah didasarkan atas “bai’at” atau konkritnya berdasarkan pemilihan umum yang bersifat langsung dan terbuka yang dimotori oleh Umar ibn Khattab.
Banyak orang yang salah memahami konsepsi “bai’at” itu yang sebenarnya. Dalam praktik, tokoh-tokoh pergerakan biasa menggunakan istilah “bai’at” itu untuk mengambil sumpah agar para pengikutnya tunduk dan taat kepada pimpinan yang membai’at. Kebiasaan demikian ini tentu saja sangat salah. Bai’at itu sendiri yang benar adalah seperti yang dilakukan Umar ibn Khattab ketika membai’at Abubakar Siddik menjadi khalifah pengganti nabi. Sesudah Umar ibn Khattab menyatakan “bai’at” nya maka para sahabat lainnya berbondong-bondong menyatakan dukungan juga kepada Abubakar dan membai’atnya menjadi khalifah. Dengan perkataan lain, bai’at kepemimpinan itu bukanlah tindakan atas kepada bawahan, melainkan sebaliknya dari bawahan kepada atasan. Dengan bai’at itu lah rakyat menyatakan dukungannya kepada khalifah, persis seperti pemungutan suara dengan mana rakyat menentukan pilihannya untuk mengangkat seseorang menjadi pemimpin yang mereka percayai.
Oleh karena itu, sistem bai’at yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab kepada Abubakar Siddik itu, menurut pendapat saya, dapat disebut sebagai cikal bakal sistem pemilihan kepala negara yang pertama dalam sejarah umat manusia. Karena itu, sistem khilafaturrasul yang dipraktikkan di zaman sepeninggal nabi Muhammad tidak lain dan tidak bukan adalah sistem republik yang diimpikan Plato di zaman Yunani kuno. Impian Plato tentang “res publica” dituliskannya dalam buku “Republics” belum dapat dipraktikkan di zamannya. Impiannya itu baru dipraktikkan setelah masa nabi Muhammad menjadi pemimpin yang kemudian setelah meninggal dunia digantikan oleh Khalifah Abubakar Siddik.
Sejak Abubakar dipilih menjadi khalifah, 4 khalifah berikutnya juga ditabalkan menjadi “amirul mu’minin” dengan cara yang tidak bersifat turun temurun. Bersamaan dengan itu, seperti sudah diuraikan di atas mengenai pandangan Islam mengenai tradisi demokrasi pada bagian terdahulu, semua masalah yang menyangkut kepentingan umum selalu diputuskan oleh para khalifah secara musyawarah dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan. Hal demikian ini tidak lain merupakan sistem demokrasi yang bersifat substantif dalam proses pengambilan keputusan yang dipraktikkan dalam tradisi politik Islam sejak zaman nabi.
Karena itu, konsep Khilafah Islamiyah sebenarnya tidak lain merupakan konsep republik seperti yang diimpikan Plato dan seperti yang pertama kali diterapkan dalam praktik di zaman nabi Muhammmad dan masa khulafaurrasyidin. Dengan demikian, sudah seharusnya perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai pengertian “Khilafah Islamiyah” yang bersifat global seperti yang diimpikan oleh banyak kalangan segera diakhiri saja. Suatu republik, jika berkembang maju dan kuat dapat saja meluas pengaruhnya ke seluruh dunia. Misalnya republik Amerika Serikat yang ada sekarang sangat luas pengaruh kekuasaannya di seluruh dunia. Jika ada satu-dua republik yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam, lalu berkembang sangat maju dan kuat, baik secara militer, secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan, maka negara Muslim dimaksud tidak sulit untuk berperan seperti satu kekhalifahan yang kuat seperti di masa-masa lalu, yaitu kekhalifahan Islam antara abad ke-6 sampai dengan abad ke-13, atau setidaknya seperti kekhalifahan Ottoman sampai abad ke-19 dan sebelum Perang Dunia Pertama yang masih dikenal sangat kuat pengaruhnya di dunia.
Tradisi-tradisi yang tumbuh dan hidup dalam sejarah Islam dapat ditafsirkan tidak menolak sistem republik. Bahkan tradisi Islam itu lah yang justru pertama kali menerapkan prinsip-prinsip yang di kemudian hari kita kenal sebagai konsep republik dan konsep demokrasi. Konsep republik yang diidealkan dan konsep demokrasi yang dipandang buruk di masa Plato, justru dipraktikkan dengan baik di masa awal perkembangan Islam, dan dari sana terus dikembangkan menjadi tradisi politik modern sampai dengan sekarang.


[1] Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, Oxford University Press, 1964, hal.92-94.

No comments:

Post a Comment