Saturday, December 24, 2011

Aliran-aliran tentang Tugas Hakim dan Undang-undang

Tugas pokok hakim sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah mengadili, memeriksa, dan memutuskan suatu perkara. Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa bagi hakim, memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya merupakan sebuah kewajiban. Selain itu, hakim juga bertugas untuk menghubungkan aturan abstrak dalam undang-undang dengan fakta konkret dari perkara yang diperiksanya. Dalam hubungan ini, apakah hakim, seperti yang digambarkan oleh Trias Politica Montesquie hanya menerapkan undang-undang, atau hakim harus menggunakan pikirannya atau penalaran logisnya untuk membuat interpretasi atau penafsiran terhadap aturan yang ada dalam perundang-undangan ?

Perdebatan yang timbul dari pertanyaan tersebut sudah berlangsung dalam waktu yang lama dan melahirkan berbagai aliran pemikiran dalam ilmu hukum. Ali (2002: 132) mengatakan bahwa yang mula-mula dikenal adalah aliran legis, yang cenderung memandang hakim tidak lain hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de la loi).Kemudian muncul aliran penemuan hukum oleh hakim, yang memandang hakim dapat mengisi kekosongan perundang-undangan dengan jalan konstruksi hukum atau interpretasi. Terakhir muncul lagi aliran realis di Amerika Serikat dan Skandinavia, yang pada pokonya memandang hakim tidak sekadar “menemukan hukum” melainkan “membentuk hukum” melalui putusannya. Bagi aliran realis, kaidah-kaidah hukum yang berlaku memang ada pengaruhnya terhadap putusan hakim, akan tetapi hanya sebagai salah satu unsur pertimbangan. Selain unsur kaidah hukum itu, putusan hakim juga dipengaruhi oleh prasangka politik, ekonomi maupun moral. Bahkan perasaan simpati dan antipasti pribadi juga turut mempengaruhi putusan hakim.
Ali (2002: 132) kemudian menguraikan aliran-aliran tersebut:
1.      Aliran Legis
Pada saat Hukum Kebiasaan mendominasi, di saat itu terasa betapa ketidakpastian berlangsung di dunia hukum. Akhirnya muncul masa dimana kepercayaan sepenuhnya dialihkan pada undang-undang untuk mengatasi ketidakpastian dari hukum tak tertulis. Tetapi terjadilah kepercayaan yang berlebihan akan kemampuan undang-undang. Kepastian hukum memang mungkin terwujud dengan undang-undang, tetapi di pihak lain muncul kelemahan undang-undang, khususnya sifatnya yang statis dan kaku.
Aliran legisme pernah mengalami masa-masa emasnya selama beberapa abad. Diantara tokoh-tokoh yang menyuarakan dan membela aliran ini adalah Montesquieu yang menganggap hakim sebagai corong belaka bagi undang-undang, Justianus yang mengancam dengan pidana pada siapa saja yang memberanikan diri untuk menafsirkan undang-undang, Rousseau yang mengatakan bahwa yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam satu Negara adalah kehendak bersama rakyat, dan kehendak bersama itu diwujudkan dalam undang-undang,  juga Robespierre yang menginginkan perkataan yurisprudensi dihapuskan saja, dan tokoh-tokoh lain.
Inti pandangan legisme adalah bahwa hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas. Oleh penganut legisme, undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur segala persoalan yang ada di zamannya.
Pandangan legis semakin lama semakin ditinggalkan orang karena semakin lama semakin disadari bahwa undang-undang tidak pernah lengkap dan tidak selamanya jelas. Sifat undang-undang yang abstrak dan umum menimbulkan kesulitan dalam penerapannya secara “in-konkreto” oleh para hakim di pengadilan. Tidak mungkin hakim mampu menyelesaikan persengketaan, jika hakim hanya berfungsi sebagai “corong undang-undang”. Hakim harus melakukan kreasi. Inilah yang kemudian melahirkan pandangan tentang bolehnya hakim melakukan penemuan hukum melalui putusannya.
2.      Aliran Penemuan Hukum oleh Hakim
Ketika dirasakan betapa aliran legis tidak mampu lagi memecahkan problem-problem hukum yang muncul, maka pemikiran legis ini mulai ditinggalkan, dan kalangan hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah sesuatu yang wajar. Aliran ini ada beberapa macam;
a.      Aliran Begriffsjurisprudenz
Aliran yang membolehkan hakim melakukan penemuan hukum, diawali dengan yang dikenal sebagai begriffsjurisprudenz. Aliran ini memulai memperbaiki kelemahan yang ada pada ajaran legis.
Aliran ini mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas. Aliran ini memandang hukum sebagai satu sistem tertutup, di mana pengertian hukum tidaklah sebagai sarana melainkan sebagai tujuan, sehingga teori hukum menjadi teori tentang pengertian (Begriffsjurisprudenz). Aliran ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim daripada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan hukum yang tersirat dalam undang-undang. Dengan demikian, peradilan lebih bersandar pada ilmu hukum. Maka kegiatan hakim terdiri dari sistematisasi, penghalusan hukum dan pengolahan hukum dalam sistem itu melalui penjabaran logis peraturan undang-undang menjadi berbagai asas hukum. (Mertokusumo, 2001: 96)
b.      Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsshule)
Sebagai kritikan terhadap aliran Begriffsjurisprudenz, muncul aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsshule). Menurut aliran ini, undang-undang jelas tidak lengkap. Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan “penemuan hukum” dengan memperluas dan membentuk peraturan melalui putusannya. Untuk mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang demi kemanfaatan masyarakat. (Ali, 2002: 138 dan Mertokusumo, 2001: 97-98)
Hanya saja, adanya kebebasan hakim dalam membuat keputusan dan peraturan, memungkinkan terjadi kesewenang-wenangan hakim dalam membuat keputusan. Itulah salah satu kelemahan yang dialamatkan pada aliran ini.
c.      Aliran Soziologische Rechtsshule
Reaksi terhadap aliran Interessenjurisprudenz ini memunculkan aliran soziologische rechtsshule yang pada pokoknya hendak menahan kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan hakim. Aliran ini tidak setuju jika hakim diberi kebebasan dalam membuat peraturan, akan tetapi tetap mengakui bahwa hakim tidak hanya sekedar “terompet undang-undang”, melainkan di samping berdasarkan pada undang-undang, hakim juga harus memperhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum warga masyarakat. Aliran ini menolak adanya kebebasan dari hakim sebagaimana yang diinginkan freirechtsshcule. (Ali, 2002: 139)
Aliran ini menuntut adanya hakim yang memiliki wawasan ilmu dan pengetahuan yang cukup luas, bukan sekedar menguasai peraturan-peraturan hukum yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan, melainkan juga menguasai ilmu ekonomi, sosiologi, politik, antropologi, dan lain-lain. Untuk memperoleh hakim yang berkualitas seperti itu, banyak ditentukan pula oleh “proses rekrutmen” calon hakim. Sebaiknya yang diterima sebagai calon hakim adalah lulusan-lulusan terbaik dari fakultas-fakultas hukum serta yang memiliki mentalitas yang cukup baik. Selain itu, peningkatan kualitas bagi para hakim sendiri juga harus senantiasa dilakukan, baik dengan penataran atau kursus-kursus, maupun dengan sering-sering mengikutkan para hakim dalam pertemuan-pertemuan ilmiah seperti seminar, simposium, dan sebagainya.
d.      Ajaran Paul Scholten
Aliran-aliran yang ada sebelumnya, oleh Paul Scholten dianggap berat sebelah. Menurutnya, hukum merupakan satu sistem, yang berarti semua aturan saling berkaitan, aturan-aturan itu dapat disusun secara mantik, dan untuk yang bersifat khsusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga tiba pada asas-asasnya. Namun tidaklah berarti bahwa hakim hanya bekerja secara mantik semata-mata. Hakim juga harus bekerja atas dasar penilaian, dan hasil penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru.
Paul Scholten sebagaimana dikutip Ali (2002: 141) melihat bahwa sistem hukum itu logis, tetapi tidak tertutup. Inilah ajarannya yang disebut open system van het recht. Sistem hukum itu tidak statis, karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut, Karena itu lebih tepat jika dikatakan bahwa sistem hukum itu sifatnya terbuka. Scholten melihat bahwa penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud interpretasi dan konstruksi. Undang-undang mempunyai kebebasan yang lebih primer, sedangkan hakim mempunyai “keadaan terikat” pada yang lebih primer itu.

No comments:

Post a Comment