Tugas pokok hakim sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah mengadili,
memeriksa, dan memutuskan suatu perkara. Hakim tidak boleh menolak perkara
dengan alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada. Oleh karena itu bisa
dikatakan bahwa bagi hakim, memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya
merupakan sebuah kewajiban. Selain itu, hakim juga bertugas untuk menghubungkan
aturan abstrak dalam undang-undang dengan fakta konkret dari perkara yang
diperiksanya. Dalam hubungan ini, apakah hakim, seperti yang digambarkan oleh Trias
Politica Montesquie hanya menerapkan undang-undang, atau hakim harus
menggunakan pikirannya atau penalaran logisnya untuk membuat interpretasi atau
penafsiran terhadap aturan yang ada dalam perundang-undangan ?
Perdebatan
yang timbul dari pertanyaan tersebut sudah berlangsung dalam waktu yang lama
dan melahirkan berbagai aliran pemikiran dalam ilmu hukum. Ali (2002: 132)
mengatakan bahwa yang mula-mula dikenal adalah aliran legis, yang
cenderung memandang hakim tidak lain hanya sekedar terompet
undang-undang (bouche de la loi).Kemudian muncul aliran penemuan
hukum oleh hakim, yang memandang hakim dapat mengisi kekosongan
perundang-undangan dengan jalan konstruksi hukum atau interpretasi. Terakhir
muncul lagi aliran realis di Amerika Serikat dan Skandinavia,
yang pada pokonya memandang hakim tidak sekadar “menemukan hukum” melainkan
“membentuk hukum” melalui putusannya. Bagi aliran realis, kaidah-kaidah hukum
yang berlaku memang ada pengaruhnya terhadap putusan hakim, akan tetapi hanya
sebagai salah satu unsur pertimbangan. Selain unsur kaidah hukum itu, putusan
hakim juga dipengaruhi oleh prasangka politik, ekonomi maupun moral. Bahkan perasaan
simpati dan antipasti pribadi juga turut mempengaruhi putusan hakim.
Ali (2002:
132) kemudian menguraikan aliran-aliran tersebut:
1.
Aliran Legis
Pada saat
Hukum Kebiasaan mendominasi, di saat itu terasa betapa ketidakpastian
berlangsung di dunia hukum. Akhirnya muncul masa dimana kepercayaan sepenuhnya
dialihkan pada undang-undang untuk mengatasi ketidakpastian dari hukum tak
tertulis. Tetapi terjadilah kepercayaan yang berlebihan akan kemampuan
undang-undang. Kepastian hukum memang mungkin terwujud dengan undang-undang,
tetapi di pihak lain muncul kelemahan undang-undang, khususnya sifatnya yang
statis dan kaku.
Aliran
legisme pernah mengalami masa-masa emasnya selama beberapa abad. Diantara
tokoh-tokoh yang menyuarakan dan membela aliran ini adalah Montesquieu yang
menganggap hakim sebagai corong belaka bagi undang-undang, Justianus yang
mengancam dengan pidana pada siapa saja yang memberanikan diri untuk
menafsirkan undang-undang, Rousseau yang mengatakan bahwa yang merupakan
kekuasaan tertinggi dalam satu Negara adalah kehendak bersama rakyat, dan
kehendak bersama itu diwujudkan dalam undang-undang, juga Robespierre
yang menginginkan perkataan yurisprudensi dihapuskan saja, dan
tokoh-tokoh lain.
Inti
pandangan legisme adalah bahwa hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan
undang-undang secara tegas. Oleh penganut legisme, undang-undang dianggap sudah
lengkap dan jelas dalam mengatur segala persoalan yang ada di zamannya.
Pandangan
legis semakin lama semakin ditinggalkan orang karena semakin lama semakin
disadari bahwa undang-undang tidak pernah lengkap dan tidak selamanya jelas.
Sifat undang-undang yang abstrak dan umum menimbulkan kesulitan dalam
penerapannya secara “in-konkreto” oleh para hakim di pengadilan. Tidak mungkin
hakim mampu menyelesaikan persengketaan, jika hakim hanya berfungsi sebagai
“corong undang-undang”. Hakim harus melakukan kreasi. Inilah yang kemudian
melahirkan pandangan tentang bolehnya hakim melakukan penemuan
hukum melalui putusannya.
2.
Aliran
Penemuan Hukum oleh Hakim
Ketika
dirasakan betapa aliran legis tidak mampu lagi memecahkan problem-problem hukum
yang muncul, maka pemikiran legis ini mulai ditinggalkan, dan kalangan hukum
berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah sesuatu yang
wajar. Aliran ini ada beberapa macam;
a.
Aliran
Begriffsjurisprudenz
Aliran yang
membolehkan hakim melakukan penemuan hukum, diawali dengan yang dikenal sebagai begriffsjurisprudenz. Aliran
ini memulai memperbaiki kelemahan yang ada pada ajaran legis.
Aliran ini
mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun
undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena
undang-undang memiliki daya meluas. Aliran ini memandang hukum sebagai satu
sistem tertutup, di mana pengertian hukum tidaklah sebagai sarana
melainkan sebagai tujuan, sehingga teori hukum menjadi teori tentang pengertian
(Begriffsjurisprudenz). Aliran ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim
daripada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, tetapi dapat
mengambil argumentasinya dari peraturan hukum yang tersirat dalam
undang-undang. Dengan demikian, peradilan lebih bersandar pada ilmu hukum. Maka
kegiatan hakim terdiri dari sistematisasi, penghalusan hukum dan pengolahan
hukum dalam sistem itu melalui penjabaran logis peraturan undang-undang menjadi
berbagai asas hukum. (Mertokusumo, 2001: 96)
b.
Aliran
Interessenjurisprudenz (Freirechtsshule)
Sebagai
kritikan terhadap aliran Begriffsjurisprudenz, muncul aliran
Interessenjurisprudenz (Freirechtsshule). Menurut aliran ini, undang-undang
jelas tidak lengkap. Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan
hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk
melakukan “penemuan hukum” dengan memperluas dan membentuk peraturan melalui
putusannya. Untuk mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, hakim bahkan boleh
menyimpang dari undang-undang demi kemanfaatan masyarakat. (Ali, 2002: 138 dan
Mertokusumo, 2001: 97-98)
Hanya saja,
adanya kebebasan hakim dalam membuat keputusan dan peraturan, memungkinkan
terjadi kesewenang-wenangan hakim dalam membuat keputusan. Itulah salah satu
kelemahan yang dialamatkan pada aliran ini.
c.
Aliran
Soziologische Rechtsshule
Reaksi
terhadap aliran Interessenjurisprudenz ini memunculkan aliran soziologische rechtsshule
yang pada pokoknya hendak menahan kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan
hakim. Aliran ini tidak setuju jika hakim diberi kebebasan dalam membuat
peraturan, akan tetapi tetap mengakui bahwa hakim tidak hanya sekedar “terompet
undang-undang”, melainkan di samping berdasarkan pada undang-undang, hakim juga
harus memperhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat, perasaan dan kebutuhan
hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum warga masyarakat. Aliran ini
menolak adanya kebebasan dari hakim sebagaimana yang diinginkan
freirechtsshcule. (Ali, 2002: 139)
Aliran ini
menuntut adanya hakim yang memiliki wawasan ilmu dan pengetahuan yang cukup
luas, bukan sekedar menguasai peraturan-peraturan hukum yang tertuang dalam
berbagai perundang-undangan, melainkan juga menguasai ilmu ekonomi, sosiologi,
politik, antropologi, dan lain-lain. Untuk memperoleh hakim yang berkualitas
seperti itu, banyak ditentukan pula oleh “proses rekrutmen” calon hakim.
Sebaiknya yang diterima sebagai calon hakim adalah lulusan-lulusan terbaik dari
fakultas-fakultas hukum serta yang memiliki mentalitas yang cukup baik. Selain
itu, peningkatan kualitas bagi para hakim sendiri juga harus senantiasa
dilakukan, baik dengan penataran atau kursus-kursus, maupun dengan
sering-sering mengikutkan para hakim dalam pertemuan-pertemuan ilmiah seperti
seminar, simposium, dan sebagainya.
d.
Ajaran Paul
Scholten
Aliran-aliran
yang ada sebelumnya, oleh Paul Scholten dianggap berat sebelah. Menurutnya,
hukum merupakan satu sistem, yang berarti semua aturan saling berkaitan,
aturan-aturan itu dapat disusun secara mantik, dan untuk yang bersifat khsusus
dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga tiba pada asas-asasnya. Namun
tidaklah berarti bahwa hakim hanya bekerja secara mantik semata-mata. Hakim juga
harus bekerja atas dasar penilaian, dan hasil penilaian itu menciptakan sesuatu
yang baru.
Paul
Scholten sebagaimana dikutip Ali (2002: 141) melihat bahwa sistem hukum itu
logis, tetapi tidak tertutup. Inilah ajarannya yang disebut open system
van het recht. Sistem hukum itu tidak statis, karena sistem hukum itu
membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang senantiasa menambah
luasnya sistem hukum tersebut, Karena itu lebih tepat jika dikatakan bahwa
sistem hukum itu sifatnya terbuka. Scholten melihat bahwa penilaian hakim itu
dilakukan dalam wujud interpretasi dan konstruksi. Undang-undang mempunyai
kebebasan yang lebih primer, sedangkan hakim mempunyai “keadaan terikat” pada
yang lebih primer itu.
No comments:
Post a Comment