Wednesday, October 31, 2012

My Awkward Morning


Sunday, December 25, 2011

Kontroversi Konferensi Perubahan Iklim

Dunia seharusnya sudah memiliki perjanjian pengganti Protokol Kyoto sejak dua tahun lalu.

Di Kopenhagen, Denmark, pada Desember 2009 lalu, lebih dari 190 negara yang tergabung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa bertemu untuk mencari kata sepakat dalam upaya menahan laju pertumbuhan emisi gas rumah kaca yang berada di permukaan bumi. Dari Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 15) di Kopenhagen itulah perjanjian pengganti Protokol Kyoto diharapkan muncul.

Sayangnya, kesepakatan penting yang berpotensi menyelamatkan bumi dari kerusakan dan bencana itu gagal hadir.

Apa itu Protokol Kyoto?

Konvensi internasional yang mulai diterapkan pada 2005 ini mewajibkan negara-negara maju, sering disebut negara Annex I (Uni Eropa, Jepang, Kanada, Rusia, beberapa di antaranya), untuk mengurangi buangan emisi karbondioksida mereka.

Mereka dianggap lebih mampu secara ekonomi untuk beralih ke teknologi atau sumber energi yang lebih bersih. Negara-negara maju juga sudah punya keunggulan berpuluh-puluh tahun daripada negara berkembang untuk ‘membuang’ gas karbondioksida ke udara sehingga bisa kaya seperti sekarang.

Meski begitu, Amerika Serikat, salah satu polutan terbesar dunia yang juga negara maju, menolak terikat pada Protokol tersebut.

Ketergantungan Amerika Serikat pada bahan bakar fosil serta kedekatan administrasi Presiden George W Bush (saat itu) dengan industri minyak adalah beberapa faktor yang menyebabkan AS tak mau terikat pada  perjanjian dunia ini.

Maka itu, apapun perjanjian dunia yang muncul untuk menggantikan Protokol Kyoto harus dapat memasukkan Amerika Serikat di dalamnya.

Setiap tahun, perwakilan dari negara-negara di bawah PBB bertemu untuk merancang sebuah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum untuk mengurangi buangan karbondioksida dunia.

Terlambat dua tahun dari tenggat waktu yang tercantum pada Protokol Kyoto, negara-negara dunia itu pun mencoba lagi menghasilkan kesepakatan global.

Di Durban, Afrika Selatan, pada 11 Desember 2011, Konferensi Perubahan Iklim PBB akhirnya mengeluarkan kesepakatan untuk mulai memiliki perjanjian baru pengganti Protokol Kyoto pada 2015 yang akan mulai berlaku pada 2020.

Kesepakatan yang baru akan keluar pada 2015 dan berlaku pada 2020 itu rencananya akan mengikat negara maju dan negara berkembang untuk mengurangi emisi karbondioksida mereka.
Lalu, apa yang terjadi antara sekarang sampai 2020? Hanya negara-negara Uni Eropa-lah yang menyatakan niatnya untuk terus mengurangi emisi karbon mereka.

Kanada, Jepang, dan Rusia –negara-negara polutan besar dunia—sudah  menyatakan keluar dari Protokol Kyoto. Dengan Amerika Serikat tidak pernah terikat pada perjanjian ini, maka tidak ada lagi yang dapat mengontrol buangan karbondioksida ke bumi. Padahal emisi karbondioksida yang tinggi berpotensi menaikkan rata-rata suhu permukaan bumi.

Tanpa kendali internasional, dunia kini sedang menuju kenaikan rata-rata suhu permukaan bumi sebesar 4 derajat Celsius. Padahal, PBB sudah mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa kenaikan rata-rata suhu permukaan bumi yang dapat ditoleransi bumi ‘hanyalah’ 2 derajat Celsius.

Tampaknya kita sedang berjalan menuju kehancuran. Tapi jangan bayangkan kehancuran itu seperti kiamat yang datang lalu usai.

Dampak perubahan iklim datang berulang-ulang dengan keparahan yang makin meningkat. Bentuknya bisa berupa hujan yang semakin deras dan semakin sering sehingga menyebabkan banjir besar atau longsor. Bisa juga berupa kekeringan panjang, sehingga orang semakin sulit mencari air atau sawah-sawah tidak terairi.

Saat kekeringan melanda, gagal panen pun terjadi. Akibatnya, bahan pangan makin sulit dicari. Kalau ditemukan, harganya pun mahal. Bukan tidak mungkin, dunia akan kehabisan sumber makanan.

Susahnya membangun kesepakatan

Kenapa kesepakatan dunia untuk upaya menyelamatkan bumi itu susah sekali dicapai?

Emisi karbondioksida bukan hanya soal lingkungan semata. Ada aktivitas-aktivitas manusia di dalamnya, kemajuan ekonomi, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyesuaikan infrastruktur dengan ekstremitas cuaca, serta kepentingan politik masing-masing negara.

Buat Amerika Serikat, negara yang paling dipaksa ikut dalam perjanjian internasional berikutnya, polusi yang mereka hasilkan tidak sebanyak Cina. Maka, Amerika Serikat pun meminta Cina harus ikut terikat dalam perjanjian baru tersebut. Sementara Cina berpendapat, besarnya buangan emisi mereka akibat banyaknya jumlah penduduk.

Selain itu, Cina berpendapat, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, atau Jepang, sudah lebih dulu mengotori bumi. Kenapa negara berkembang lainnya harus ikut menanggung dosa lingkungan negara-negara maju tersebut?

Cina juga kini beralasan bahwa mereka sudah melakukan banyak sekali inisiatif untuk beralih ke teknologi hijau. Hanya saja, Amerika Serikat meminta Cina membuka diri terhadap dunia internasional (dan lembaga pengukur emisi karbon asing) demi transparansi pelaporan inisiatif-inisiatif tersebut. Bagi Cina, ini bisa dianggap sebagai campur tangan atas kedaulatan negara mereka. 

Amerika Serikat juga sudah kehilangan keunggulannya sebagai pemimpin di dunia internasional, setidaknya dari segi ekonomi dan inisiatifnya dalam isu perubahan iklim. Maka saat mereka menekan Cina itu bisa dilihat sebagai upaya menghambat kemajuan ekonomi Cina.

India juga menjadi negara berkembang dengan buangan polusi besar yang jadi sorotan dalam setiap Konferensi Perubahan Iklim PBB. Sama seperti Cina, mereka mengajukan alasan tingginya jumlah penduduk sebagai faktor penyebab besarnya polusi yang mereka hasilkan.

India juga menyebut bahwa mereka punya hak untuk berkembang secara ekonomi, mensejahterakan ratusan juta penduduk mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.  

Bagi negara-negara seperti Rusia dan Kanada, masing-masing dengan ketergantungan terhadap industri perminyakan, pembatasan emisi karbondioksida berarti memberi beban bagi pertumbuhan ekonomi mereka.

Sementara, buat negara-negara kecil kepulauan, jumlah emisi karbondioksida yang beredar di udara bukan soal kesempatan ekonomi, tapi masalah hidup mati. Dampak perubahan iklim bisa berarti kematian bagi mereka. Kenaikan permukaan air laut bisa menenggelamkan negara mereka.

Negara-negara termiskin dunia pun masih mengalami permasalahan mendasar soal penyediaan makanan atau akses terhadap air. Apalagi nanti, saat dampak perubahan iklim mulai terasa.

Bahkan tak perlu menunggu nanti, laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim PBB yang beranggotakan ratusan peneliti dari berbagai negara sudah menyatakan, perubahan iklim adalah penyebab berbagai peristiwa cuaca ekstrem yang sudah terjadi belakangan ini. Dan peristiwa yang terjadi sekarang (masih ingat banjir Bangkok?) hanyalah kilasan dari skala peristiwa yang bisa terjadi di masa depan saat dampak perubahan iklim terjadi makin sering.

Di mana Indonesia?

Ada 123 juta penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perkotaan di pinggir pantai. Artinya, setengah penduduk Indonesia rentan terhadap dampak-dampak perubahan iklim.

Akses terhadap air pun masih sulit di sebagian kawasan timur Indonesia. Belum lagi petani-petani Indonesia yang kesulitan panen akibat kekeringan sambil terus tergerus produk pertanian impor. Pemasukan nelayan Indonesia pun bisa terus menyusut ketika cuaca di lautan makin tidak menentu.

Itu hanya beberapa contoh kelompok yang akan terancam oleh dampak perubahan iklim. Indonesia memiliki kerentanan sekaligus juga harus berkembang ekonominya.

Hanya saja, dalam tiga kali Konferensi Perubahan Iklim PBB yang saya datangi (Nusa Dua pada 2007, Kopenhagen pada 2009, dan Durban pada 2011), Indonesia terlihat tidak terlalu berminat membela kepentingan ekonominya (artinya, menjadi sama vokalnya dengan India dan Cina dalam perundingan internasional tersebut) atau membela kerentanan penduduknya (seperti yang dilakukan negara-negara termiskin atau negara kecil kepulauan).

Delegasi Indonesia tetap menyuarakan pentingnya negara-negara maju memikul tanggung jawab karbon mereka. Tetapi, suara mereka itu kalah keras dibanding upaya untuk menawarkan jasa hutan-hutan tropisnya dalam skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/mengurangi emisi akibat penebangan dan kerusakan hutan).

Lewat skema REDD ini, negara-negara maju akan membayar negara-negara berkembang pemilik hutan tropis (termasuk Indonesia) untuk tidak menebang hutan. Alasannya, hutan-hutan ini berperan untuk menyerap emisi karbondioksida. Dengan memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia, Indonesia tentu bisa diuntungkan dari skema ekonomi ini.

Selain soal REDD, Indonesia juga belum menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam perundingan di antara kelompok negara-negara berkembang yang kuat.

Negara-negara seperti India, Cina, Afrika Selatan, dan Brasil sudah membuat front tersendiri dengan nama BASIC untuk menggalang kekuatan saat menghadapi negara-negara maju. Tetapi buat Indonesia, yang penting adalah mempresentasikan aktivitas REDD yang sudah berlangsung di Indonesia. Dalam peliputan media internasional untuk negosiasi pun, suara dari Indonesia jarang dikejar.

Padahal, Indonesia membawa delegasi negosiator yang besar untuk datang ke Konferensi ini.  Analisis yang dilakukan oleh Hoy Chicago menghitung bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah delegasi ketiga terbesar di Konferensi tersebut dengan 266 orang. Tuan rumah Afrika Selatan membawa 386 orang, dan Brasil, yang sedang menyiapkan diri untuk pekerjaan besar Konferensi Rio+20 pada Juni 2012 nanti, membawa 288 orang.

Pemain besar, Cina, membawa 154 orang. Jepang membawa 134 orang, nyaris setengah dari jumlah delegasi Indonesia. Amerika Serikat, lebih sedikit lagi, 93 orang. Pemain besar lain dalam negosiasi, India, malah hanya 49 orang.

Pavilion Indonesia yang mewah di Durban, Afrika Selatan--tempat pusat aktivitas pameran program-program menanggapi perubahan iklim yang sedang berlangsung di Indonesia--malah disponsori oleh tiga perusahaan besar yang berhubungan dengan penebangan hutan, kelapa sawit, serta penambangan minyak.

Jika Indonesia tak bisa menjaga kemandirian dari kepentingan industri dalam forum negosiasi pemerintahan, bagaimana kita bisa percaya pada niat pemerintah untuk melindungi penduduknya dari kerentanan atas dampak perubahan iklim?

Forum Konferensi Iklim PBB pun menjadi ajang tampil untuk kemudian mencari kerjasama-kerjasama antarnegara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sudah menetapkan target kesuksesan delegasi negosiator Indonesia ke Durban.

Yaitu, selain mendorong terbentuknya protokol baru, juga menciptakan peluang dan kerja sama pengelolaan hutan yang membawa keuntungan bagi Indonesia. “Jangan hadiri COP hanya untuk itu (lahirnya protokol baru). Kita ada tujuan, misalkan kerja sama perawatan hutan. Saya akan ukur keberhasilan delegasi ke Afsel dari dua itu," kata dia.

Tampaknya, ‘perubahan iklim’ baru menjadi alasan untuk mencari kerjasama asing daripada melindungi warga atau memikirkan cara terbersih dari segi lingkungan untuk mensejahterakan rakyat.

Saturday, December 24, 2011

Antara Kepastian Hukum dan Kemerdekaan

Ada dua aliran yang berkembang tentang sebatas mana seorang hakim bisa menemukan hukum, yaitu penganut doktrin sensclair dan penganut penemuan hukum harus selalu dilakukan. Di sini lah terjadi benturan antara kepastian hukum dan kemerdekaan. Kendati menerima penafsiran, aliran pertama menghendaki agar lingkaran peraturan itu tidak diterobos keluar. Metode-metode penafsiran yang dipakai, seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis misalnya, tetap harus berlangsung dalam lingkaran undang-undang. Aliran tersebut bahkan menerima konsekuensi disebut mengabadikan ketidak-adilan manakala suatu peraturan dinilai tidak adil, maka demi kepastian “kepastian dari ketidakadilan” atau kepastian yang tidak adilpun diterima sebagai resiko atau ongkos yang harus dibayar.


Di sisi lain, kemerdekaan tidak bisa menerima peraturan yang dirasa tidak adil dan karena itu memilih melakukan pembebasan dan keluar dari lingkaran peraturan yang ada. Inilah esensi dari aliran Realisme. (Rahardjo, 2005: 8).


Peraturan sebagai suatu yang legal dan kenyataan sebagai sesuatu yang sociological, empirical, bukan dua hal yang terpisah dan bisa dipisahkan secara mutlak. Setiap kenyataan harus melihat pada peraturan, dan sebaliknya peraturan juga harus melihat pada kenyataan. Penafsiran adalah hal yang akan menjadi jembatan di antara keduanya Oleh karena itu, penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan atau perkembangan yang terjadi di masyarakat. Jika kedua macam pembacaan, pembacaan peraturan dan pembacaan kenyataan sosial, digabungkan, maka akan muncul pembacaan dan penafsiran yang lebih inovatif, kreatif, dan berkeadilan.


Ketika sebuah peraturan sudah diundangkan dan “dipasarkan” pada publik, maka ia dianggap sudah mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Sebagaimana contoh yang sudah disampaikan sebelumnya, undang-undang harus bisa menyelesaikan persoalan pencurian aliran listrik yang ketika undang-undang itu dibentuk aliran listrik belum dikategorikan sebagai barang dan bahkan belum ada dalam benak “produsen”nya. Rahardjo (2005: 9) mengatakan bahwa sejak penerapan peraturan adalah time bound dan space bound dan peraturan yang dibuat itu juga terkait pada keduanya, maka setiap saat peraturan itu akan mengalami pendefinisian kembali agar bisa melayani situasi “di sini dan sekarang”. Oleh sebab itu dikatakan, bahwa penegakan hukum itu bukan semata-mata pekerjaan mesin yang otomatis dan linier, akan tetapi penuh kreatifitas. Pekerjaan menemukan hukum adalah pekerjaan kreatif dan di situlah terletak penafsiran.


Penafsiran yang kreatif dan inovatif merupakan salah satu kritik atas metode penemuan hukum yang positivistik yang berkembang di abad 19 yang merupakan pengaruh ajaran Trias Politica Montesquieu. Trias Polica memberikan pemisahan yang jelas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemisahan tersebut menentukan batas yang tegas bagi penegakan hukum sehingga tidah boleh sama sekali memasuki ranah perbuatan hukum. Penemuan hukum didirikan sebagai bagian dari penerapan aturan terhadap kenyataan dan aturan itu hanya diberikan oleh undang-undang. Suatu putusan tidak boleh dibatalkan atas pertimbangan yang sifatnya umum, melainkan hanya manakala terjadi kesalahan dalam penerapan undang-undang. Hakim tidak diperbolehkan “mengganggu” undang-undang dengan putusannya. Kodifikasi –yang merupakan ciri positivisme- beranggapan bahwa legislatif dengan segala kekuatannya telah mengatur semua kejadian yang akan datang. Tidak ada kekosongan dan cacat di dalamnya, sehingga penafsiran adalah sebuah kegiatan yang tidak diperlukan bahkan dianggap berlebihan. Memang undang-undang sebagai karya manusia mengandung cacat, akan tetapi itu harus dikembalikan pada badan legislatif. Bukan menjadi tugas hakim untuk member penafsiran guna mengurangi cacat atau kekosongan itu.
Aliran ini akhirnya mulai banyak dikritik, terutama oleh Aliran Realisme yang pada akhir abad 19 merupakan aliran pemikiran yang kuat di Amerika Serikat. Aliran inilah yang menurunkan keperkasaan undang-undang yang dihasilkan oleh badan legislatif yang menjadi pusat kehidupan hukum dari singgasananya. Tidak ada satu pusat, tetapi sumber hukum itu tersebar pada berbagai sumber lain. Sejak kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh badan legislatif, maka hakim muncul sebagai pusat yang baru (Judge Made Law). (Rahardjo, 2005: 13). Realisme Hukum dan juga Ajaran Hukum Bebas lah yang memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan penafsiran hukum dan menolak cara kerja Aliran Hukum Analitis (analytical jurisprudence) yang sangat mengandalkan pada dan mempercayai adanya kepastian (certainly).


Salah satu hal yang penting dari paparan tersebut adalah adanya pergulatan antara pikiran analitis dan realitas atau sosiologis sebagaimana diwakili oleh analytical jurisprudence dan legal realism. Yang pertama selalu melihat ke dalam bingkai peraturan dan tidak keluar dari lingkaran itu. Berdasarkan pemikiran hukum yang demikian itu, maka penafsiran hukum menjadi hal yang ditabukan. Tidak ada dan tidak boleh ada penafsiran, yang ada adalah penafsiran hukum, undang-undang. Penafsiran itu ada di tangan badan legislatif karena ketika pembuatan hukum terjadi, maka penafsiran sudah ada di dalamnya. Di sini kepastian sangat diunggulkan, bahkan samapai titik mutlak. Dan kepastian itu diperoleh dengan membaca undang-undang. (Rahardjo, 2005: 11)


Sebaliknya, pikiran relais dan sosiologis berpendapat bahwa hukum itu merupakan kerangka yang abstrak sedangkan setiap perkara yang dihadapkan kepadanya adalah unik. Kalau orang berpegang pada kata-kata undang-undang, maka sifat unik dari perkara itu akan hilang dan dikesampingkan. Maka setiap pembuat putusan hukum adalah aktivitas yang kreatif, demi melayani keunikan tersebut. (Rahardjo, 2005: 12). Dan penafsiran yang bebas akan memberikan ruang yang luas untuk hal tersebut. Rasa keadilan akan lebih diutamakan daripada kepastian yang tidak berkeadilan. Teks undang-undang dijadikan sebagai sarana untuk mencapai keadilan dan untuk melayani masyarakat, dan bukan sebaliknya, menjadikan teks undang-undang sebagai tujuan akhir walaupun bertentangan dengan keadilan dan tidak mampu melayani tuntutan masyarakat.
Hukum dan penafsiran seperti itulah yang penulis katakan sebagai hukum dan penafsiran yang berkeadilan karena menjadikan teks undang-undang tidak semata sebagai teks yang “mati”, akan tetapi berjalan dan menyesuaikan dengan pergerakan dan perkembangan masyarakat demi mencapai sebuah tujuan ideal, yaitu keadilan.

Aliran-aliran tentang Tugas Hakim dan Undang-undang

Tugas pokok hakim sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah mengadili, memeriksa, dan memutuskan suatu perkara. Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa bagi hakim, memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya merupakan sebuah kewajiban. Selain itu, hakim juga bertugas untuk menghubungkan aturan abstrak dalam undang-undang dengan fakta konkret dari perkara yang diperiksanya. Dalam hubungan ini, apakah hakim, seperti yang digambarkan oleh Trias Politica Montesquie hanya menerapkan undang-undang, atau hakim harus menggunakan pikirannya atau penalaran logisnya untuk membuat interpretasi atau penafsiran terhadap aturan yang ada dalam perundang-undangan ?

Perdebatan yang timbul dari pertanyaan tersebut sudah berlangsung dalam waktu yang lama dan melahirkan berbagai aliran pemikiran dalam ilmu hukum. Ali (2002: 132) mengatakan bahwa yang mula-mula dikenal adalah aliran legis, yang cenderung memandang hakim tidak lain hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de la loi).Kemudian muncul aliran penemuan hukum oleh hakim, yang memandang hakim dapat mengisi kekosongan perundang-undangan dengan jalan konstruksi hukum atau interpretasi. Terakhir muncul lagi aliran realis di Amerika Serikat dan Skandinavia, yang pada pokonya memandang hakim tidak sekadar “menemukan hukum” melainkan “membentuk hukum” melalui putusannya. Bagi aliran realis, kaidah-kaidah hukum yang berlaku memang ada pengaruhnya terhadap putusan hakim, akan tetapi hanya sebagai salah satu unsur pertimbangan. Selain unsur kaidah hukum itu, putusan hakim juga dipengaruhi oleh prasangka politik, ekonomi maupun moral. Bahkan perasaan simpati dan antipasti pribadi juga turut mempengaruhi putusan hakim.
Ali (2002: 132) kemudian menguraikan aliran-aliran tersebut:
1.      Aliran Legis
Pada saat Hukum Kebiasaan mendominasi, di saat itu terasa betapa ketidakpastian berlangsung di dunia hukum. Akhirnya muncul masa dimana kepercayaan sepenuhnya dialihkan pada undang-undang untuk mengatasi ketidakpastian dari hukum tak tertulis. Tetapi terjadilah kepercayaan yang berlebihan akan kemampuan undang-undang. Kepastian hukum memang mungkin terwujud dengan undang-undang, tetapi di pihak lain muncul kelemahan undang-undang, khususnya sifatnya yang statis dan kaku.
Aliran legisme pernah mengalami masa-masa emasnya selama beberapa abad. Diantara tokoh-tokoh yang menyuarakan dan membela aliran ini adalah Montesquieu yang menganggap hakim sebagai corong belaka bagi undang-undang, Justianus yang mengancam dengan pidana pada siapa saja yang memberanikan diri untuk menafsirkan undang-undang, Rousseau yang mengatakan bahwa yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam satu Negara adalah kehendak bersama rakyat, dan kehendak bersama itu diwujudkan dalam undang-undang,  juga Robespierre yang menginginkan perkataan yurisprudensi dihapuskan saja, dan tokoh-tokoh lain.
Inti pandangan legisme adalah bahwa hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas. Oleh penganut legisme, undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur segala persoalan yang ada di zamannya.
Pandangan legis semakin lama semakin ditinggalkan orang karena semakin lama semakin disadari bahwa undang-undang tidak pernah lengkap dan tidak selamanya jelas. Sifat undang-undang yang abstrak dan umum menimbulkan kesulitan dalam penerapannya secara “in-konkreto” oleh para hakim di pengadilan. Tidak mungkin hakim mampu menyelesaikan persengketaan, jika hakim hanya berfungsi sebagai “corong undang-undang”. Hakim harus melakukan kreasi. Inilah yang kemudian melahirkan pandangan tentang bolehnya hakim melakukan penemuan hukum melalui putusannya.
2.      Aliran Penemuan Hukum oleh Hakim
Ketika dirasakan betapa aliran legis tidak mampu lagi memecahkan problem-problem hukum yang muncul, maka pemikiran legis ini mulai ditinggalkan, dan kalangan hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah sesuatu yang wajar. Aliran ini ada beberapa macam;
a.      Aliran Begriffsjurisprudenz
Aliran yang membolehkan hakim melakukan penemuan hukum, diawali dengan yang dikenal sebagai begriffsjurisprudenz. Aliran ini memulai memperbaiki kelemahan yang ada pada ajaran legis.
Aliran ini mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas. Aliran ini memandang hukum sebagai satu sistem tertutup, di mana pengertian hukum tidaklah sebagai sarana melainkan sebagai tujuan, sehingga teori hukum menjadi teori tentang pengertian (Begriffsjurisprudenz). Aliran ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim daripada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan hukum yang tersirat dalam undang-undang. Dengan demikian, peradilan lebih bersandar pada ilmu hukum. Maka kegiatan hakim terdiri dari sistematisasi, penghalusan hukum dan pengolahan hukum dalam sistem itu melalui penjabaran logis peraturan undang-undang menjadi berbagai asas hukum. (Mertokusumo, 2001: 96)
b.      Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsshule)
Sebagai kritikan terhadap aliran Begriffsjurisprudenz, muncul aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsshule). Menurut aliran ini, undang-undang jelas tidak lengkap. Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan “penemuan hukum” dengan memperluas dan membentuk peraturan melalui putusannya. Untuk mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang demi kemanfaatan masyarakat. (Ali, 2002: 138 dan Mertokusumo, 2001: 97-98)
Hanya saja, adanya kebebasan hakim dalam membuat keputusan dan peraturan, memungkinkan terjadi kesewenang-wenangan hakim dalam membuat keputusan. Itulah salah satu kelemahan yang dialamatkan pada aliran ini.
c.      Aliran Soziologische Rechtsshule
Reaksi terhadap aliran Interessenjurisprudenz ini memunculkan aliran soziologische rechtsshule yang pada pokoknya hendak menahan kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan hakim. Aliran ini tidak setuju jika hakim diberi kebebasan dalam membuat peraturan, akan tetapi tetap mengakui bahwa hakim tidak hanya sekedar “terompet undang-undang”, melainkan di samping berdasarkan pada undang-undang, hakim juga harus memperhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum warga masyarakat. Aliran ini menolak adanya kebebasan dari hakim sebagaimana yang diinginkan freirechtsshcule. (Ali, 2002: 139)
Aliran ini menuntut adanya hakim yang memiliki wawasan ilmu dan pengetahuan yang cukup luas, bukan sekedar menguasai peraturan-peraturan hukum yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan, melainkan juga menguasai ilmu ekonomi, sosiologi, politik, antropologi, dan lain-lain. Untuk memperoleh hakim yang berkualitas seperti itu, banyak ditentukan pula oleh “proses rekrutmen” calon hakim. Sebaiknya yang diterima sebagai calon hakim adalah lulusan-lulusan terbaik dari fakultas-fakultas hukum serta yang memiliki mentalitas yang cukup baik. Selain itu, peningkatan kualitas bagi para hakim sendiri juga harus senantiasa dilakukan, baik dengan penataran atau kursus-kursus, maupun dengan sering-sering mengikutkan para hakim dalam pertemuan-pertemuan ilmiah seperti seminar, simposium, dan sebagainya.
d.      Ajaran Paul Scholten
Aliran-aliran yang ada sebelumnya, oleh Paul Scholten dianggap berat sebelah. Menurutnya, hukum merupakan satu sistem, yang berarti semua aturan saling berkaitan, aturan-aturan itu dapat disusun secara mantik, dan untuk yang bersifat khsusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga tiba pada asas-asasnya. Namun tidaklah berarti bahwa hakim hanya bekerja secara mantik semata-mata. Hakim juga harus bekerja atas dasar penilaian, dan hasil penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru.
Paul Scholten sebagaimana dikutip Ali (2002: 141) melihat bahwa sistem hukum itu logis, tetapi tidak tertutup. Inilah ajarannya yang disebut open system van het recht. Sistem hukum itu tidak statis, karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut, Karena itu lebih tepat jika dikatakan bahwa sistem hukum itu sifatnya terbuka. Scholten melihat bahwa penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud interpretasi dan konstruksi. Undang-undang mempunyai kebebasan yang lebih primer, sedangkan hakim mempunyai “keadaan terikat” pada yang lebih primer itu.

Konstruksi Hukum / Komposisi Hukum (Rechtsconstructie)

Ada 3 model kontruksi hukum di dunia, yaitu:

1. Konstruksi Analogi (argumentum per analogiam)

Analogi adalah proses konstruksi yang dilakukan dengan cara mencari rasio ledis (genus) dari suatu undang-undang dan kemudianmenerapkannya kepada hal-hal lain yang sebenarnya tidak diatur oleh undang-undang itu.

Dalam analogi, hakim memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan unsur dengan perkara atau fakta-fakta yang dapat diselesaikan langsung oleh peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim kemudian memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada perkara yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain, penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dengan ketentuan hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain.

Penerapan hukum dengan analogi hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus hukum perdata. Hukum pidana tidak mengenal analogi karena hal demikian bertentangan dengan asas pokok hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa ketentuan perundang-undangan yang menetapkannya terlebih dahulu” (nullum crimen sine lege). Karena di dalam pidana jika digunakan konstruksi analogi akan menciptakan delik baru.

Maka dengan konstruksi analogi, seorang ahli hukum memasukkan suatu perkara kedalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dibuat untuk menyelesaian perkara yang bersangkutan.

2. Konstruksi Penghalusan Hukum (rechtsverfijning)

Seorang ahli hukum beranggapan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara, peraturan perundang-undangan yang ada dan yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan perkara, ternyata tidak dapat digunakan.

Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan (bersifat restriktif).

3. Argumentum a Contrario

Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada seperti pada kegiatan analogi, yaitu menerapkan suatu peraturan pada perkara yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diselesaikan oleh peraturan itu. Perbedaannya adalah dalam analogi hakim akan menghasilkan suatu kesimpulan yang positif, dalam arti bahwa ia menerapkan suatu aturan pada masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan pada konstruksi Argumentum a Contrario hakim sampai pada kesimpulan yang negatif, artinya ia justru tidak mungkin menerapkan aturan tertentu dalam perkara yang sedang dihadapinya.

Penafsiran Hukum (Rechtsinterpretatie)


Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.

Menurut Prof. J.H.A. Logemann : “Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-undang sedemikian rupa sehingga menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang itu.”
Dalam usaha mencari dan menentukan kehendak pembuat undang-undang itulah maka dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa metoda atau cara menafsirkan peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan seorang ahli hukum yaitu :
  1. Penafsiran Gramatikal (taatkundige interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap peristilahan atau kata-kata, tata kalimat didalam suatu konteks bahasa yang digunakan pembuat undang-undang dalam merumuskan peraturan perundang-undangan tertentu.
  2. Penafsiran Sejarah (historische interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan dengan meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya peraturan undang-undang yang bersangkutan.
  3. Penafsiran Sistematis (systematische interpretatie), yaitu penafsiran terhadap satu atau lebih peraturan perundang-undangan, dengan cara menyelidiki suatu sistem tertentu yang terdapat didalam suatu tata hukum, dalam rangka penemuan asas-asas hukum umum yang dapat diterapkan dalam suatu masalah hukum tertentu.
  4. Penafsiran sosiologis (teleologis), sejalan dengan pandangan Prof. L.J.van Apeldoorn, maka salah satu tugas utama seorang ahli hukum adalah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal konkrit yang ada di dalam masyarakat.
  5. Penafsiran otentik, yaitu penafsiran terhadap kata, istilah atau pengertian didalam peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat undang-undang sendiri.
Menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim untuk memeriksa dan memberi keputusan atas perkara yang diserahkan kepadanya dan tidak diperbolehkan menolak dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas pengaturannya. Dalam hal demikian dalam Pasal 28 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini berarti seorang hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Rechtsvinding merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya untuk mengambil keputusan. Oleh karena itu, maka hakim dapat melakukan konstruksi dan penghalusan hukum.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam Konstruksi Hukum antara lain:

a) Hakim meninjau kembali sistem material yang mendasari lembaga hukum yang dihadapinya sebagai pokok perkara;

b) Berdasarkan sistem itu, hakim kemudian berusaha membentuk suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) baru dengan cara membandingkan beberapa ketentuan di dalam lembaga hukum yang bersangkutan, yang dianggap memiliki kesamaan-kesamaan tertentu;

c) Setelah pengertian hukum itu dibentuk, maka pengertian hukum itulah yang digunakan sebagai dasar untuk mengkonstruksi suatu kesimpulan dalam penyelesaian perkara.

Pada dasarnya, konstruksi hukum dinamakan analogi, tetapi di dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa bentuk konstruksi hukum yang sebenarnya merupakan variasi dari analogi itu, yaitu konstruksi Penghalusan Hukum dan konstruksi Argumentum a Contrario.

Friday, December 23, 2011

Taman Nasional Takabonerate: Surga Atol

Tidak banyak yang tahu bahwa di Taman Nasional Takabonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, terbentang atol alias pulau karang terluas ke-3 di dunia setelah Kwajalein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Jika Anda telanjur mengunjungi pusat pembuatan perahu pinisi di Bulukumba, sempatkanlah menyeberang dan melanglang ke perairan ini.

Ombak yang menampar-nampar kapal kayu berpenumpang 20 orang itu perlahan menjinak. Mata para pelancong terpaku pada lautan yang berpendar dari kejauhan. Gradasi air berwarna biru dan hijau mengepung koral yang menyembul. ”Wow, is that atoll?” tanya Piotr Kordas (30), turis asal Polandia dengan nada kagum.

Atol adalah salah satu jenis pulau karang yang terbentuk dari kerangka makhluk-makhluk laut yang renik.
Dengan luas mencapai 220.000 hektar, atol di Laut Flores ini bak untaian lapislazuli dan zamrud yang ”disemat” di hamparan lautan. Bahkan, foto-foto yang tersebar di berbagai laman internet pun tidak mampu menyaingi sensasi ketika menyaksikan atol ini secara langsung.

Sebagai gambaran awal, tengoklah peta. Dari Makassar melajulah 240 kilometer ke arah tenggara atau lima jam perjalanan darat hingga Kabupaten Bulukumba. Dari sana, Anda bisa menyeberang melalui Pelabuhan Bira menuju Pelabuhan Pamatata, Kepulauan Selayar, yang berjarak 80 kilometer atau sekitar dua jam perjalanan dengan kapal cepat.

Setiba di Pamatata, lanjutkan perjalanan darat sejauh 60 kilometer atau sejam menuju Benteng, ibu kota Kabupaten Kepulauan Selayar. Lalu, dari Dermaga Pattumbukang di Benteng, pengunjung kembali menyeberang ke kawasan Takabonerate. Dua pulau yang bisa jadi pilihan ialah Jinato dan Tinabo Besar yang sama-sama harus ditempuh melalui delapan jam pelayaran dengan kapal kayu.

Guna menghemat waktu, tersedia pesawat Sabang Merauke Air Charter yang melayani rute Makassar-Selayar. Dengan pesawat berpenumpang 22 orang ini, Anda bisa tiba di Bandara Aroepalla, Selayar, dalam waktu 40 menit.

Pelayaran ke Takabonerate sebetulnya sebanding dengan pengalaman di kapal. Saat Kompas bertandang dalam rangka Festival Takabonerate, 19-22 November lalu, cuaca cerah dan lautan relatif tenang. Namun, Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo harus berhadapan dengan cuaca buruk dan ombak besar sehingga akhirnya memilih menaiki helikopter menuju ke Pulau Jinato.

Cuaca dan ombak yang tidak bisa diprediksi adalah salah satu tantangan untuk menuju ke lokasi ini. Anda yang memilih jalur laut sebaiknya menyiapkan nyali atau setidaknya obat antimabuk.

Surga atol
Sesuai dengan namanya, Takabonerate memiliki arti pulau karang di atas pasir. Jenis karang yang ada di kawasan ini ialah terumbu karang penghalang (barrier reef), terumbu karang tepi (fringing reef), dan terumbu karang cincin (atoll).

Ketiga jenis karang tersebut disusun oleh keanekaragaman hayati, mulai dari karang hidup, karang mati, alga, padang lamun, hingga gundukan pasir atau bungin (sand dunes). Karang inilah rumah bagi sedikitnya 362 spesies ikan karang, seperti dari famili Chaetodontidae, Labridae, Scaridae, dan 261 jenis karang.

Datang ke Takabonerate berarti menyiapkan diri untuk wisata bahari yang menantang. Selain atol, di taman nasional terdapat 21 gugusan pulau yang tujuh di antaranya berpenghuni. Untuk menjelajahinya, satu-satunya pilihan tentu kapal kayu bermesin.

Salah satu tujuan di Takabonerate tentulah Pulau Tinabo Besar, suguhan wisata utama di kawasan ini. Dari kejauhan, dermaga kayu, deretan pulau kelapa, dan pasir putih selembut terigu seakan melambai-lambai untuk segera dihampiri.

Air jernih dan karang lunak bisa kita nikmati dengan mata telanjang. Tak heran Piotr Kordas pun tergoda langsung menjajal snorkeling di tempat ini.

Dibandingkan dengan pulau lainnya, baru Pulau Tinabo besar yang sudah dilengkapi penginapan dan pos pemantauan yang dikelola Balai Taman Nasional Takabonerate. Bertolak dari sini, pengunjung bisa menuju ke-22 titik penyelaman untuk mengeksplorasi panorama bawah laut, termasuk melihat ikan hiu (Sphyrna spp) hingga kerapu dari jarak dekat.

Berbagai kegiatan juga disiapkan untuk mengisi waktu, seperti menanam pohon ketapang dan transplantasi karang. Keindahan pulau ini bahkan bisa dinikmati dengan berjalan menyusuri pantai seluas lima hektar ini.

Tinabo Besar adalah pilihan jika ingin menenggelamkan diri dalam kedamaian pulau. Pengunjung bisa mengambil paket wisata yang ditawarkan Balai TN Takabonerate dengan tarif Rp 800.000-Rp 1 juta per hari. Ini sudah termasuk biaya transportasi dari Benteng ke Tinabo, akomodasi, konsumsi, dan pengantaran ke titik penyelaman. Beberapa agen wisata yang dikelola pengusaha asing pun menawarkan paket serupa, tetapi tentu dalam kurs dollar AS.

Jika menginginkan liburan yang berkesan, tinggallah di rumah penduduk untuk menyelami keseharian suku Bugis dan Bajoe yang menetap di pulau. Beberapa pulau yang umumnya dikunjungi turis ialah Pulau Jinato dan Pulau Rajuni.

Pulau Jinato dihuni 1.327 penduduk yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Tempat ini pula yang menjadi tuan rumah Festival Takabonerate. Penduduk menerima tamu yang datang untuk menginap di rumah mereka. Pada waktu senggang, Anda bisa bercengkerama dengan penduduk yang dengan senang hati akan menyuguhkan kopi atau teh.

Perjuangan
Melancong ke Takabonerate memang membutuhkan perjuangan dan kesabaran. Keterbatasan sarana dan prasarana, seperti air tawar, resor, dan sinyal telekomunikasi di pulau, adalah tantangan untuk mengembangkan pariwisata. Kapal laut sebagai satu-satunya andalan untuk menuju Takabonerate harus disewa dengan biaya mencapai Rp 2 juta karena belum ada pelayaran reguler.

Lama dan mahalnya perjalanan membuat turis kadang lebih memilih berwisata di Selayar yang tak kalah menggoda. Kawasan pantai timur Selayar, misalnya, dikenal sebagai titik penyelaman para pencandu selam.
Jowvy Kumala (41), karyawan perusahaan telekomunikasi di Makassar, menyempatkan diri menyelam di kawasan pantai timur sebelum ke Takabonerate. ”Biotanya menarik karena banyak ikan besar. Serasa di kampung ikan bisa melihat hiu sirip putih dan ikan bumphead dari dekat,” ujar perempuan yang pernah menyelam di Taman Nasional Bunaken dan Raja Ampat tersebut.

Wisata di Selayar bisa menjadi pelipur lara bagi yang gagal bertolak ke Takabonerate. Inilah setidaknya misi yang tengah diemban pemerintah setempat. ”Untuk membangun wisata bahari, kami mulai dari Selayar dulu karena untuk ke Takabonerate memang sulit,” ujar Bupati Selayar Syahrir Wahab.

Di Selayar, jangan lupa membeli emping, salah satu oleh-oleh-oleh khas. Lalu, ketika kembali ke Bulukumba, sempatkan singgah di Semenanjung Bira yang dikenal sebagai pusat pembuatan perahu pinisi. Di kawasan ini juga tersedia miniatur pinisi untuk buah tangan.

Dengan emping, miniatur pinisi, dan pelayaran yang menantang, tentulah Anda sulit melupakan sensasi Selayar dan sekitarnya.