Interpretasi
atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup
kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan
yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat
bertindak sewenang-wenang.
Menurut
Prof. J.H.A. Logemann : “Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli hukum
diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-undang sedemikian
rupa sehingga menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang
itu.”
Dalam
usaha mencari dan menentukan kehendak
pembuat undang-undang itulah maka dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa metoda
atau cara menafsirkan peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan seorang
ahli hukum yaitu :
- Penafsiran Gramatikal (taatkundige interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap peristilahan atau kata-kata, tata kalimat didalam suatu konteks bahasa yang digunakan pembuat undang-undang dalam merumuskan peraturan perundang-undangan tertentu.
- Penafsiran Sejarah (historische interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan dengan meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya peraturan undang-undang yang bersangkutan.
- Penafsiran Sistematis (systematische interpretatie), yaitu penafsiran terhadap satu atau lebih peraturan perundang-undangan, dengan cara menyelidiki suatu sistem tertentu yang terdapat didalam suatu tata hukum, dalam rangka penemuan asas-asas hukum umum yang dapat diterapkan dalam suatu masalah hukum tertentu.
- Penafsiran sosiologis (teleologis), sejalan dengan pandangan Prof. L.J.van Apeldoorn, maka salah satu tugas utama seorang ahli hukum adalah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal konkrit yang ada di dalam masyarakat.
- Penafsiran otentik, yaitu penafsiran terhadap kata, istilah atau pengertian didalam peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat undang-undang sendiri.
Menurut
Pasal 16 ayat (1) Undang-undang
No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim untuk memeriksa
dan memberi keputusan atas perkara yang diserahkan kepadanya dan tidak
diperbolehkan menolak dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas
pengaturannya. Dalam hal demikian dalam Pasal 28 Undang-Undang No.4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini
berarti seorang hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan
hukum (rechtsvinding). Rechtsvinding merupakan proses pembentukan hukum
oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap
peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya
untuk mengambil keputusan. Oleh karena itu, maka hakim
dapat melakukan konstruksi dan penghalusan hukum.
a) Hakim
meninjau kembali sistem material yang mendasari lembaga hukum yang dihadapinya
sebagai pokok perkara;
b) Berdasarkan
sistem itu, hakim kemudian berusaha membentuk suatu pengertian hukum (rechtsbegrip)
baru dengan cara membandingkan beberapa ketentuan di dalam lembaga hukum yang
bersangkutan, yang dianggap memiliki kesamaan-kesamaan tertentu;
c) Setelah
pengertian hukum itu dibentuk, maka pengertian hukum itulah yang digunakan
sebagai dasar untuk mengkonstruksi suatu kesimpulan dalam penyelesaian perkara.
Pada
dasarnya, konstruksi hukum dinamakan analogi, tetapi di dalam ilmu hukum
dikembangkan beberapa bentuk konstruksi hukum yang sebenarnya merupakan variasi
dari analogi itu, yaitu konstruksi Penghalusan Hukum dan konstruksi Argumentum a Contrario.
No comments:
Post a Comment