Ada dua aliran yang berkembang
tentang sebatas mana seorang hakim bisa menemukan hukum, yaitu penganut doktrin sensclair dan penganut penemuan hukum harus selalu dilakukan. Di sini lah terjadi
benturan antara kepastian
hukum dan kemerdekaan. Kendati menerima penafsiran, aliran pertama menghendaki agar lingkaran
peraturan itu tidak diterobos keluar. Metode-metode penafsiran yang dipakai,
seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis misalnya, tetap harus
berlangsung dalam lingkaran undang-undang. Aliran tersebut bahkan menerima
konsekuensi disebut mengabadikan ketidak-adilan manakala suatu peraturan
dinilai tidak adil, maka demi kepastian “kepastian dari ketidakadilan” atau
kepastian yang tidak adilpun diterima sebagai resiko atau ongkos yang harus dibayar.
Di sisi lain, kemerdekaan tidak bisa menerima peraturan yang dirasa tidak
adil dan karena itu memilih melakukan pembebasan dan keluar dari lingkaran
peraturan yang ada. Inilah esensi dari aliran Realisme. (Rahardjo, 2005: 8).
Peraturan sebagai suatu yang legal dan kenyataan sebagai sesuatu yang sociological, empirical, bukan dua hal yang terpisah dan bisa dipisahkan secara mutlak. Setiap
kenyataan harus melihat pada peraturan, dan sebaliknya peraturan juga harus
melihat pada kenyataan. Penafsiran adalah hal yang akan menjadi jembatan di
antara keduanya Oleh karena itu, penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan
dengan menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan atau
perkembangan yang terjadi di masyarakat. Jika kedua macam pembacaan, pembacaan
peraturan dan pembacaan kenyataan sosial, digabungkan, maka akan muncul
pembacaan dan penafsiran yang lebih inovatif, kreatif, dan berkeadilan.
Ketika sebuah peraturan sudah diundangkan dan “dipasarkan” pada publik,
maka ia dianggap sudah mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi.
Sebagaimana contoh yang sudah disampaikan sebelumnya, undang-undang harus bisa
menyelesaikan persoalan pencurian aliran listrik yang ketika undang-undang itu
dibentuk aliran listrik belum dikategorikan sebagai barang dan bahkan belum ada
dalam benak “produsen”nya. Rahardjo (2005: 9) mengatakan bahwa sejak penerapan
peraturan adalah time
bound dan space bound dan peraturan yang dibuat itu juga terkait pada keduanya, maka setiap saat
peraturan itu akan mengalami pendefinisian kembali agar bisa melayani situasi
“di sini dan sekarang”. Oleh sebab itu dikatakan, bahwa penegakan hukum itu
bukan semata-mata pekerjaan mesin yang otomatis dan linier, akan tetapi penuh
kreatifitas. Pekerjaan menemukan hukum adalah pekerjaan kreatif dan di situlah
terletak penafsiran.
Penafsiran yang kreatif dan inovatif merupakan salah satu kritik atas
metode penemuan hukum yang positivistik yang berkembang di abad 19 yang
merupakan pengaruh ajaran Trias Politica Montesquieu. Trias Polica memberikan pemisahan yang jelas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pemisahan tersebut menentukan batas yang tegas bagi penegakan hukum sehingga
tidah boleh sama sekali memasuki ranah perbuatan hukum. Penemuan hukum
didirikan sebagai bagian dari penerapan aturan terhadap kenyataan dan aturan
itu hanya diberikan oleh undang-undang. Suatu putusan tidak boleh dibatalkan
atas pertimbangan yang sifatnya umum, melainkan hanya manakala terjadi
kesalahan dalam penerapan undang-undang. Hakim tidak diperbolehkan “mengganggu”
undang-undang dengan putusannya. Kodifikasi –yang merupakan ciri positivisme-
beranggapan bahwa legislatif dengan segala kekuatannya telah mengatur semua
kejadian yang akan datang. Tidak ada kekosongan dan cacat di dalamnya, sehingga
penafsiran adalah sebuah kegiatan yang tidak diperlukan bahkan dianggap
berlebihan. Memang undang-undang sebagai karya manusia mengandung cacat, akan
tetapi itu harus dikembalikan pada badan legislatif. Bukan menjadi tugas hakim
untuk member penafsiran guna mengurangi cacat atau kekosongan itu.
Aliran ini akhirnya mulai banyak dikritik, terutama oleh Aliran Realisme
yang pada akhir abad 19 merupakan aliran pemikiran yang kuat di Amerika
Serikat. Aliran inilah yang menurunkan keperkasaan undang-undang yang dihasilkan
oleh badan legislatif yang menjadi pusat kehidupan hukum dari singgasananya.
Tidak ada satu pusat, tetapi sumber hukum itu tersebar pada berbagai sumber
lain. Sejak kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh badan legislatif, maka hakim
muncul sebagai pusat yang baru (Judge Made Law). (Rahardjo, 2005: 13). Realisme
Hukum dan juga Ajaran Hukum Bebas lah yang memberikan andil yang cukup besar
dalam pengembangan penafsiran hukum dan menolak cara kerja Aliran Hukum
Analitis (analytical
jurisprudence) yang sangat mengandalkan pada dan
mempercayai adanya kepastian (certainly).
Salah satu hal yang penting dari paparan tersebut adalah adanya pergulatan
antara pikiran analitis dan realitas atau sosiologis sebagaimana diwakili oleh analytical jurisprudence dan legal
realism. Yang pertama selalu melihat ke dalam
bingkai peraturan dan tidak keluar dari lingkaran itu. Berdasarkan pemikiran
hukum yang demikian itu, maka penafsiran hukum menjadi hal yang ditabukan.
Tidak ada dan tidak boleh ada penafsiran, yang ada adalah penafsiran hukum,
undang-undang. Penafsiran itu ada di tangan badan legislatif karena ketika
pembuatan hukum terjadi, maka penafsiran sudah ada di dalamnya. Di sini
kepastian sangat diunggulkan, bahkan samapai titik mutlak. Dan kepastian itu
diperoleh dengan membaca undang-undang. (Rahardjo, 2005: 11)
Sebaliknya,
pikiran relais dan sosiologis berpendapat bahwa hukum itu merupakan kerangka
yang abstrak sedangkan setiap perkara yang dihadapkan kepadanya adalah unik.
Kalau orang berpegang pada kata-kata undang-undang, maka sifat unik dari
perkara itu akan hilang dan dikesampingkan. Maka setiap pembuat putusan hukum
adalah aktivitas yang kreatif, demi melayani keunikan tersebut. (Rahardjo,
2005: 12). Dan penafsiran yang bebas akan memberikan ruang yang luas untuk hal
tersebut. Rasa keadilan akan lebih diutamakan daripada kepastian yang tidak
berkeadilan. Teks undang-undang dijadikan sebagai sarana untuk mencapai
keadilan dan untuk melayani masyarakat, dan bukan sebaliknya, menjadikan teks
undang-undang sebagai tujuan akhir walaupun bertentangan dengan keadilan dan
tidak mampu melayani tuntutan masyarakat.
Hukum dan
penafsiran seperti itulah yang penulis katakan sebagai hukum dan penafsiran
yang berkeadilan karena menjadikan teks undang-undang tidak semata sebagai teks
yang “mati”, akan tetapi berjalan dan menyesuaikan dengan pergerakan dan
perkembangan masyarakat demi mencapai sebuah tujuan ideal, yaitu keadilan.
No comments:
Post a Comment