Saturday, December 24, 2011

Antara Kepastian Hukum dan Kemerdekaan

Ada dua aliran yang berkembang tentang sebatas mana seorang hakim bisa menemukan hukum, yaitu penganut doktrin sensclair dan penganut penemuan hukum harus selalu dilakukan. Di sini lah terjadi benturan antara kepastian hukum dan kemerdekaan. Kendati menerima penafsiran, aliran pertama menghendaki agar lingkaran peraturan itu tidak diterobos keluar. Metode-metode penafsiran yang dipakai, seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis misalnya, tetap harus berlangsung dalam lingkaran undang-undang. Aliran tersebut bahkan menerima konsekuensi disebut mengabadikan ketidak-adilan manakala suatu peraturan dinilai tidak adil, maka demi kepastian “kepastian dari ketidakadilan” atau kepastian yang tidak adilpun diterima sebagai resiko atau ongkos yang harus dibayar.


Di sisi lain, kemerdekaan tidak bisa menerima peraturan yang dirasa tidak adil dan karena itu memilih melakukan pembebasan dan keluar dari lingkaran peraturan yang ada. Inilah esensi dari aliran Realisme. (Rahardjo, 2005: 8).


Peraturan sebagai suatu yang legal dan kenyataan sebagai sesuatu yang sociological, empirical, bukan dua hal yang terpisah dan bisa dipisahkan secara mutlak. Setiap kenyataan harus melihat pada peraturan, dan sebaliknya peraturan juga harus melihat pada kenyataan. Penafsiran adalah hal yang akan menjadi jembatan di antara keduanya Oleh karena itu, penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan atau perkembangan yang terjadi di masyarakat. Jika kedua macam pembacaan, pembacaan peraturan dan pembacaan kenyataan sosial, digabungkan, maka akan muncul pembacaan dan penafsiran yang lebih inovatif, kreatif, dan berkeadilan.


Ketika sebuah peraturan sudah diundangkan dan “dipasarkan” pada publik, maka ia dianggap sudah mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Sebagaimana contoh yang sudah disampaikan sebelumnya, undang-undang harus bisa menyelesaikan persoalan pencurian aliran listrik yang ketika undang-undang itu dibentuk aliran listrik belum dikategorikan sebagai barang dan bahkan belum ada dalam benak “produsen”nya. Rahardjo (2005: 9) mengatakan bahwa sejak penerapan peraturan adalah time bound dan space bound dan peraturan yang dibuat itu juga terkait pada keduanya, maka setiap saat peraturan itu akan mengalami pendefinisian kembali agar bisa melayani situasi “di sini dan sekarang”. Oleh sebab itu dikatakan, bahwa penegakan hukum itu bukan semata-mata pekerjaan mesin yang otomatis dan linier, akan tetapi penuh kreatifitas. Pekerjaan menemukan hukum adalah pekerjaan kreatif dan di situlah terletak penafsiran.


Penafsiran yang kreatif dan inovatif merupakan salah satu kritik atas metode penemuan hukum yang positivistik yang berkembang di abad 19 yang merupakan pengaruh ajaran Trias Politica Montesquieu. Trias Polica memberikan pemisahan yang jelas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemisahan tersebut menentukan batas yang tegas bagi penegakan hukum sehingga tidah boleh sama sekali memasuki ranah perbuatan hukum. Penemuan hukum didirikan sebagai bagian dari penerapan aturan terhadap kenyataan dan aturan itu hanya diberikan oleh undang-undang. Suatu putusan tidak boleh dibatalkan atas pertimbangan yang sifatnya umum, melainkan hanya manakala terjadi kesalahan dalam penerapan undang-undang. Hakim tidak diperbolehkan “mengganggu” undang-undang dengan putusannya. Kodifikasi –yang merupakan ciri positivisme- beranggapan bahwa legislatif dengan segala kekuatannya telah mengatur semua kejadian yang akan datang. Tidak ada kekosongan dan cacat di dalamnya, sehingga penafsiran adalah sebuah kegiatan yang tidak diperlukan bahkan dianggap berlebihan. Memang undang-undang sebagai karya manusia mengandung cacat, akan tetapi itu harus dikembalikan pada badan legislatif. Bukan menjadi tugas hakim untuk member penafsiran guna mengurangi cacat atau kekosongan itu.
Aliran ini akhirnya mulai banyak dikritik, terutama oleh Aliran Realisme yang pada akhir abad 19 merupakan aliran pemikiran yang kuat di Amerika Serikat. Aliran inilah yang menurunkan keperkasaan undang-undang yang dihasilkan oleh badan legislatif yang menjadi pusat kehidupan hukum dari singgasananya. Tidak ada satu pusat, tetapi sumber hukum itu tersebar pada berbagai sumber lain. Sejak kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh badan legislatif, maka hakim muncul sebagai pusat yang baru (Judge Made Law). (Rahardjo, 2005: 13). Realisme Hukum dan juga Ajaran Hukum Bebas lah yang memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan penafsiran hukum dan menolak cara kerja Aliran Hukum Analitis (analytical jurisprudence) yang sangat mengandalkan pada dan mempercayai adanya kepastian (certainly).


Salah satu hal yang penting dari paparan tersebut adalah adanya pergulatan antara pikiran analitis dan realitas atau sosiologis sebagaimana diwakili oleh analytical jurisprudence dan legal realism. Yang pertama selalu melihat ke dalam bingkai peraturan dan tidak keluar dari lingkaran itu. Berdasarkan pemikiran hukum yang demikian itu, maka penafsiran hukum menjadi hal yang ditabukan. Tidak ada dan tidak boleh ada penafsiran, yang ada adalah penafsiran hukum, undang-undang. Penafsiran itu ada di tangan badan legislatif karena ketika pembuatan hukum terjadi, maka penafsiran sudah ada di dalamnya. Di sini kepastian sangat diunggulkan, bahkan samapai titik mutlak. Dan kepastian itu diperoleh dengan membaca undang-undang. (Rahardjo, 2005: 11)


Sebaliknya, pikiran relais dan sosiologis berpendapat bahwa hukum itu merupakan kerangka yang abstrak sedangkan setiap perkara yang dihadapkan kepadanya adalah unik. Kalau orang berpegang pada kata-kata undang-undang, maka sifat unik dari perkara itu akan hilang dan dikesampingkan. Maka setiap pembuat putusan hukum adalah aktivitas yang kreatif, demi melayani keunikan tersebut. (Rahardjo, 2005: 12). Dan penafsiran yang bebas akan memberikan ruang yang luas untuk hal tersebut. Rasa keadilan akan lebih diutamakan daripada kepastian yang tidak berkeadilan. Teks undang-undang dijadikan sebagai sarana untuk mencapai keadilan dan untuk melayani masyarakat, dan bukan sebaliknya, menjadikan teks undang-undang sebagai tujuan akhir walaupun bertentangan dengan keadilan dan tidak mampu melayani tuntutan masyarakat.
Hukum dan penafsiran seperti itulah yang penulis katakan sebagai hukum dan penafsiran yang berkeadilan karena menjadikan teks undang-undang tidak semata sebagai teks yang “mati”, akan tetapi berjalan dan menyesuaikan dengan pergerakan dan perkembangan masyarakat demi mencapai sebuah tujuan ideal, yaitu keadilan.

No comments:

Post a Comment