Saturday, December 10, 2011

Piagam Madinah: Konstitusi Tertulis Pertama


Di samping adanya prinsip-prinsip doktrin negara hukum (nomokrasi), prinsip-prinsip demokrasi permusyawaratan, dan bentuk negara republik sebagaimana diuraikan di atas, sejarah Islam juga memperkenalkan kepada dunia mengenai piagam perjanjian bersama antar warga kota Madinah untuk hidup bersama dalam satu wadah negara dalam bentuk naskah yang dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam pengertian modern sekarang, Piagam Madinah ini identik dengan pengertian konstitusi tertulis, yaitu sebagai naskah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia.
Banyak klaim di antara para ahli mengenai naskah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia. Bahkan kode sipil Hammurabi juga dinisbatkan oleh beberapa sarjana sebagaii konstitusi tertulis pertama dalam sejarah. Akan tetapi, apabila dibaca dengan perspektif modern dewasa ini tentang makna undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis, maka naskah pertama yang berisi hasil-hasil kesepakatan bersama antar warga masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya tandatangan bersama antar tokoh-tokoh yang mewakili pelbagai kelompok yang beraneka ragam dalam masyarakat, tidak lain adalah Piagam Madinah[1].
Piagam Madinah tersebut ditandatangani bersama oleh 13 kepala suku dan kelompok-kelompok dalam masyarakat bersama nabi Muhammad pada tahun 622M[2]. Ketiga belas kepala suku tersebut adalah (i) kaum Muhajirin atau orang Islam yang berasal dari Mekkah, (ii) kaum Anshar atau orang Islam yang memang hidup di kota Madinah, (iii) kaum Yahudi dari banu ‘Awf, (iv) kaum Yahudi dari banu Sa’idah, (v) kaum Yahudi dari banu Hars, (vi) kaum Yahudi dari banu Jusyam, (vii) kaum Yahudi dari banu al-Najjar, (viii) kaum Yahudi dari banu Amr ibn ‘Awf, (ix) kaum Yahudi dari banu al-Nabit, (x) kau Yahudi dari banu al-‘aws, (xi) kaum Yahudi dari banu Sa’labah, (xii) suku Jafnah dari banu Sa’labah, dan (xiii) suku banu Syuthaybah. Tercatat dalam sejarah, suku yang terakhir ini pernah berkhianat dan kemudian kepala suku dihukum oleh rasulullah dengan hukuman mati.
Prinsip ketaatan kepada kesepakatan para pemimpin dalam bentuk piagam perjanjian bersama itu, dalam Islam, sangat diberi tekanan. Dalam QS. Dinyatakan, “Athi’ullaha, wa athi’urrasula, wa ulil-amri minkum”. Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menaati Allah, menaati Rasulullah, dan para pemimpin di antara kamu. Salah satu bentuknya kumpulan kepemimpinan itu adalah perkumpulan para tokoh yang mewakili kelompok dan golongan kaumnya masing-masing untuk menandatanganni kesepakatan bersama untuk hidup bersama sebagai satu kesatuan masyarakat di Madinah.
Semua kesepakatan yang dibuat secara sukarela (an tarodhin) diwajibkan oleh nabi agar ditaati oleh setiap umat Islam. Jika ada yang melanggar, maka kepada yang bersalah dijatuhi hukuman sebagaimana mestinya. Dalam sejarah, nabi Muhammad tercatat memang menjatuhkan hukum konkrit kepada orang-orang yang menghianati perjanjian bersama itu. Dengan demikian, setiap orang Islam, tidak hanya wajib tunduk dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga kepada setiap norma hukum yang lahir dari kesepakatan bersama, baik dalam bentuk undang-undang dasar, undang-undang, peraturan daerah, ataupun peraturan-peraturan pelaksanaannya (executive acts) maupun dalam bentuk kontrak-kontrak perdata yang mengikat bagi pihak-pihak yang membuatnya. Semua ini jelas merupakan gambaran prinsip negara hukum, prinsip negara konstitusional (constitutional state), dan prinsip negara demokrasi berdasar atas hukum atau negara konstitusional yang dikenal di zaman modern sekarang.
Karena itu, kepeloporan umat Islam sejak masa Rasulullah meski dimulai dari bentuknya yang paling sederhana dapat dicatat terdapat dalam pelbagai komponen sistem politik. Pertama, Islam memulai sistem kepemimpinan masyarakat dan negara dari ‘social trust’ dan ‘social support’ kepada Muhammad sebagai orang yang dikenal sebagai “al-amin” atau “yang terpercaya. Kedua, pola kepemimpinan Muhammad diteruskan dengan proses pergantian kepemimpinan tidak lagi berdasarkan sistem keturunan seperti sebelumnya. Ketiga, dalam penyelenggaraan kepentingan umum, para pemimpin umat selalu membuat keputusan melalui proses permusyawaratan dan perwakilan sebagamana mestinya. Keempat, dalam bentuknya yang sederhana, Islam juga lah yang memulai tradisi pemilihan umum dengan sistem “bai’at” untuk menentukan diangkatnya seorang kepala negara. Kelima, Dalam penyelenggaraan kepemimpinan, dikenal adanya prinsip ‘la tho’ata li makhluqin fi ma’siyatil kholiq’ yang menentukan bahwa yang harus dijadikan ukuran ketaatan tertinggi adalah sistem aturan, bukan perintah atasan. Dengan pandangan demikian, Islam juga lah yang mempelopori berlakunya prinsip ‘the rule of law, not of man’.  Keenam, bentuk organisasi “kekhilafahan” terutama selama periode “khulafaurrasyidin” mulai sejak terpilihnya Abubakar Siddik sebagai Khalifah tidak lain merupakan cikal bakal praktik konkrit mengenai ide pemerintahan republik sebagaimana yang sudah diimpikan oleh Plato dalam bukunya “Republic” pada masa Yunani kuno.


[1] Montgomery Watt bahkan menyebutnya sebagai “The Constitution of Medinah”, lihat ibid.hal. 93.
[2] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta, edisi 2009, hal.85-86.

No comments:

Post a Comment