Di samping adanya
prinsip-prinsip doktrin negara hukum (nomokrasi), prinsip-prinsip demokrasi
permusyawaratan, dan bentuk negara republik sebagaimana diuraikan di atas,
sejarah Islam juga memperkenalkan kepada dunia mengenai piagam perjanjian
bersama antar warga kota Madinah untuk hidup bersama dalam satu wadah negara
dalam bentuk naskah yang dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam pengertian modern
sekarang, Piagam Madinah ini identik dengan pengertian konstitusi tertulis,
yaitu sebagai naskah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia.
Banyak klaim di antara para
ahli mengenai naskah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia.
Bahkan kode sipil Hammurabi juga dinisbatkan oleh beberapa sarjana sebagaii
konstitusi tertulis pertama dalam sejarah. Akan tetapi, apabila dibaca dengan
perspektif modern dewasa ini tentang makna undang-undang dasar sebagai konstitusi
tertulis, maka naskah pertama yang berisi hasil-hasil kesepakatan bersama antar
warga masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya tandatangan bersama antar
tokoh-tokoh yang mewakili pelbagai kelompok yang beraneka ragam dalam
masyarakat, tidak lain adalah Piagam Madinah[1].
Piagam Madinah tersebut
ditandatangani bersama oleh 13 kepala suku dan kelompok-kelompok dalam
masyarakat bersama nabi Muhammad pada tahun 622M[2].
Ketiga belas kepala suku tersebut adalah (i) kaum Muhajirin atau orang Islam
yang berasal dari Mekkah, (ii) kaum Anshar atau orang Islam yang memang hidup
di kota Madinah, (iii) kaum Yahudi dari banu ‘Awf, (iv) kaum Yahudi dari banu
Sa’idah, (v) kaum Yahudi dari banu Hars, (vi) kaum Yahudi dari banu Jusyam,
(vii) kaum Yahudi dari banu al-Najjar, (viii) kaum Yahudi dari banu Amr ibn
‘Awf, (ix) kaum Yahudi dari banu al-Nabit, (x) kau Yahudi dari banu al-‘aws,
(xi) kaum Yahudi dari banu Sa’labah, (xii) suku Jafnah dari banu Sa’labah, dan
(xiii) suku banu Syuthaybah. Tercatat dalam sejarah, suku yang terakhir ini
pernah berkhianat dan kemudian kepala suku dihukum oleh rasulullah dengan
hukuman mati.
Prinsip ketaatan kepada
kesepakatan para pemimpin dalam bentuk piagam perjanjian bersama itu, dalam
Islam, sangat diberi tekanan. Dalam QS. Dinyatakan, “Athi’ullaha, wa
athi’urrasula, wa ulil-amri minkum”. Allah memerintahkan kepada orang-orang
yang beriman untuk menaati Allah, menaati Rasulullah, dan para pemimpin di
antara kamu. Salah satu bentuknya kumpulan kepemimpinan itu adalah perkumpulan
para tokoh yang mewakili kelompok dan golongan kaumnya masing-masing untuk
menandatanganni kesepakatan bersama untuk hidup bersama sebagai satu kesatuan
masyarakat di Madinah.
Semua kesepakatan yang
dibuat secara sukarela (an tarodhin)
diwajibkan oleh nabi agar ditaati oleh setiap umat Islam. Jika ada yang
melanggar, maka kepada yang bersalah dijatuhi hukuman sebagaimana mestinya.
Dalam sejarah, nabi Muhammad tercatat memang menjatuhkan hukum konkrit kepada
orang-orang yang menghianati perjanjian bersama itu. Dengan demikian, setiap
orang Islam, tidak hanya wajib tunduk dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
tetapi juga kepada setiap norma hukum yang lahir dari kesepakatan bersama, baik
dalam bentuk undang-undang dasar, undang-undang, peraturan daerah, ataupun peraturan-peraturan
pelaksanaannya (executive acts) maupun dalam bentuk kontrak-kontrak perdata
yang mengikat bagi pihak-pihak yang membuatnya. Semua ini jelas merupakan
gambaran prinsip negara hukum, prinsip negara konstitusional (constitutional
state), dan prinsip negara demokrasi berdasar atas hukum atau negara
konstitusional yang dikenal di zaman modern sekarang.
Karena itu, kepeloporan umat
Islam sejak masa Rasulullah meski dimulai dari bentuknya yang paling sederhana
dapat dicatat terdapat dalam pelbagai komponen sistem politik. Pertama, Islam
memulai sistem kepemimpinan masyarakat dan negara dari ‘social trust’ dan
‘social support’ kepada Muhammad sebagai orang yang dikenal sebagai “al-amin”
atau “yang terpercaya. Kedua, pola kepemimpinan Muhammad diteruskan dengan
proses pergantian kepemimpinan tidak lagi berdasarkan sistem keturunan seperti
sebelumnya. Ketiga, dalam penyelenggaraan kepentingan umum, para pemimpin umat
selalu membuat keputusan melalui proses permusyawaratan dan perwakilan
sebagamana mestinya. Keempat, dalam bentuknya yang sederhana, Islam juga lah
yang memulai tradisi pemilihan umum dengan sistem “bai’at” untuk menentukan
diangkatnya seorang kepala negara. Kelima, Dalam penyelenggaraan kepemimpinan,
dikenal adanya prinsip ‘la tho’ata li makhluqin fi ma’siyatil kholiq’ yang
menentukan bahwa yang harus dijadikan ukuran ketaatan tertinggi adalah sistem
aturan, bukan perintah atasan. Dengan pandangan demikian, Islam juga lah yang
mempelopori berlakunya prinsip ‘the rule of law, not of man’. Keenam, bentuk organisasi “kekhilafahan”
terutama selama periode “khulafaurrasyidin” mulai sejak terpilihnya Abubakar
Siddik sebagai Khalifah tidak lain merupakan cikal bakal praktik konkrit
mengenai ide pemerintahan republik sebagaimana yang sudah diimpikan oleh Plato
dalam bukunya “Republic” pada masa Yunani kuno.
No comments:
Post a Comment