1. Kepemimpinan Personal
Ide negara hukum atau pun ‘rule of law’ seperti diuraikan di atas,
pada pokoknya sejalan dengan praktik yang berkembang dalam pengalaman sejarah
Islam berkenaan dengan tradisi kekuasaan. Dalam Islam, yang dipandang sebagai
panglima tertinggi, bukanlah orang per orang, melainkan sistem aturan
berdasarkan syari’at yang diwahyukan oleh Allah swt dan sunnah yang dicontohkan
oleh Rasulullah. Sejak zaman nabi Muhammad saw, Rasulullah selalu digambarkan
dan menampilkan diri sebagai ‘uswatun
hasanah’, sebagai contoh dan teladan dalam menjalankan segala perintah
Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya[1].
Konsepsi
Islam mengenai kepemimpinan jelas tergambar dalam konsepsi imamah. Dalam
pengertian sehari-hari untuk keperluan yang bersifat praktis, kata al-Imam biasa diidentikkan dengan
pengertian orang yang memimpin atau biasa juga disebut pemiimpin. Dalam
pengertian demikian pemimpin atau al-imam itu tidak lain adalah orang atau
persona tokoh yang menjalankan fungsi kepemimpinan dalam organisasi. Nabi
Muhammad saw juga menyatakan bahwa apabila tiga orang di antara kamu bepergian,
maka hendaklah satu di antara kamu diangkat menjadi pemimpin. Dalam hadits nabi
yang lain juga bahkan ditegaskan bahwa setiap orang adalah pemimpin (ro‘in) yang pada waktunya akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah atas tugas kepemimpinan yang telah dilaksanakan
masing-masing selama di dunia (Kullumkum,
wakullukum mas-ulun an ro’iyatihi).
Setiap
orang dalam interaksi social satu sama lain diharuskan mengikatkan diri dalam
kelompok atau berorganisasi. Tidak ada manusia yang dapat hidup sendirian.
Itulah gunanya Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk berpasangan laki-laki dan
perempuan, agar kita tidak hidup bersendirian. Bahkan, terlepas dari pasangan
pria-wanita itu, setiap orang dilahirkan memang cenderung untuk hidup
bermasyarakat, sehingga dalam interaksi social dalam masyarakat, setiap manusia
pasti berkelompok yang didalamnya diperlukan mekanisme pembagian tugas. Untuk
itulah diperlukan kesepakatan tentang diapa yang akan menjadi pimpinan
kelompok. Itulah kurang lebih yang dimaksud oleh nabi Muhammmad saw ketika
menyatakan bahwa apabila kamu bepergian, maka hendaklah seorang di antara kamu
diangkat atau tanpil menjadi pimpinan.
Konsepsi kepemimpinan yang
demikian itu dipertegaskan pula oleh predikat yang diberikan oleh Allah sendiri
kepada setiap pribadi manusia yang disebut-Nya sebagai ‘khalifatullah fil-ardh’
atau Khalifah Allah di atas muka bumi. Kata ‘khalifah’ itu sendiri berarti
‘pengganti’, sehingga perkataan ‘Khalifah Allah’ berarti pengganti Tuhan di
atas muka bumi. Artinya, setiap manusia dapat dipandang sebagai penguasa yang
menggantikan peran Tuhan dalam kehidupan di dunia ini. Manusia adalah penguasa
actual atas peri kehidupan semesta alam, di atas dan di dalam bumi, di lautan,
dan di udara atau diatas dirgantara. Manusia diciptakan oleh Allaw untuk menjadi
makhluk yang menguasai segenap potensi kehidupan.
Konsepsi
‘khalifatullah’ (Khalifah Allah)
tersebut tentu harus dibedakan dari pengertian ‘khalifaturrasul’ (Khalifah Rasul). Khalifah Rasul adalah konsepsi
tentang kepemimpinan umat yang menggantikan posisi Rasulullah sebagai pemimpin
jamaah sesudah nabi Muhammad meninggal dunia. Dengan demikian, apa yang biasa
dipahami sebagai konsep khilafah yang biasa dinisbatkan dengan pengertian
tradisi kepemmpinan Islam bukan penjabaran dari konsepsi “khalifatullah”,
melainkan dengan konsepsi “khaliturrasul”
ini. Pemimpin jamaah umat Islam dipandang sebagai pengganti nabi yang telah
wafat. Karena itulah, para sahabat generasi pertama yang menggantikan peran
kepemimpinan nabi Muhammad saw untuk memimpin kaum Muslimin biasa disebut
dengan “khalifaturrasul”.
Pada masa awal perkembangan
Islam, kepemimpinan generasi pertama itulah yang biasa disebut sebagai periode
‘khulafaurrasyidin’, yaitu di masa Khalifah Abubakar Shiddiq, Khalifah Umar ibn
Khattab, Khalifah Usman ibn Affan, dan Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Keempat
khalifah generasi pertama inilah yang disebut ‘khulafaurrasyidin’ yang
menggambarkan konsep ideal sistem kepemimpinan negara dalam Islam. Namun,
pengertian khalifah sebagai pemimpin itu tidaklah bersifat mutlak. Orang Islam
diharuskan tunduk dan taat kepada pemimpin hanya sepanjang mereka tunduk kepada
hukum syari’at dan dapat dijadikan contoh dalam ketaatan kepada Allah dan
kepada Rasulullah. Karena, kedudukan khalifah itu sendiri dalam kepemimpinan hanya
lah sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw. Yang pokok untuk
ditaati justru adalah syari’at yang diwahyukan oleh Allah, dan sunnah yang
dicontohkan oleh nabi Muhammad di masa hidupnya. Selama para khalifah itu
tunduk dan taat kepada keduanya, maka umat Islam duwajibkan tunduk dan taat
kepadanya, tetapi dalam hal-hal yang bersifat kemaksiatan, umat Islam tidak
diperbolehkan taat kepadanya (la tho’ata li makhlukin fi ma’shiyati al-kholiq).
Hal
lain yang sangat penting ialah keteladanan. Dalam Islam, setiap pemimpin sangat
ditekankan agar berperan sebagai contoh atau teladan yang baik (uswatun hasanah) bagi sesama. Dalam
bidang ubudiyah, ada beberapa persyaratan yang diperlukan bagi seseorang untuk
diangkat menjadi imam, baik syarat-syarat yang berkaitan dengan spiritualitas
dan moralitas maupun kapasitas dan profesionalitas. Misalnya, untuk menjadi
imam sholat, ukuran pertama yang dipersyaratkan adalah kefasihan membaca
al-Quran dan bacaan-bacaan sholat. Kriteria keasihan itu lebih utama daripada
syarat senioritas usia yang juga dianggap sebagai criteria untuk dipercaya
menjadi imam sholat. Namun apabila orang yang lebih fasih bacaannya meskipun
usianya lebih muda, maka yang lebih fasih itu dianggap lebih memenuhi syarat
untuk dipilih.
Adab atau etika pemilihan
imam sholat itu tentu saja tidak dilakukan dengan persaingan atau perebutan
kedudukan. Dalam sholat, semua orang berhak menjadi imam, kecuali apabila
memang sudah ditentukan adanya imam yang bersifat tetap, seperti misalnya di
suatu jamaah atau di suatu masjid. Dalam keadaan biasa, semua orang dapat
menjadi imam. Akan tetapi, apabila kita tahu bahwa ada orang lain yang lebih
memenuhi syarat daripada kita, maka kita berkewajiban mendorong atau
mendahulukan yang bersangkutan untuk bertindak sebagai imam. Karena itu, dalam
tradisinya, setiap orang cenderung saling mendorong orang lain untuk menjadi
imam sholat berjamaah.
Sikap dan semangat untuk
saling mendorong orang lain menjadi imam tentulah berlaku dalam bidang
ubudiyah, bukan dalam bidang mu’amalah. Namun, moralitas di balik sikap untuk
tidak saling berebutan jabatan itu memang seharusnya tercermin juga dalam
kehidupan bermasyarakatan. Dengan demikian, sikap untuk saling berebut jabatan
dan apabila dengan melakukan apa saja dan dengan segala cara untuk menjadi
menduduki sesuatu jabatan dan untuk mempertahankan jabatan itu dengan segala
cara, bukanlah sikap yang baik di mata agama.
Dalam bidang mu’amalat, sikap
yang demikian itu tentu tidak sepenuhnya dapat dipraktikkan secara mutlak. Namun,
perlu dicatat juga bahwa dalam sholat berjamaah, Apabila ternyata di antara
jamaah dipandang tidak ada yang memenuhi syarat, dan kita tahu bahwa kita lebih
fasih bacaannya daripada yang lain, maka kita juga berkewajiban untuk tampil
menjadi imam. Tidak boleh dibiarkan ada sholat berjamaah tanpa imam atau tanpa
imam yang memenuhi syarat. Dalam kondisi yang terakhir inilah sangat mungkin
muncul adanya beberapa alternatif calon imam. Akan tetapi, bagi calon imam yang
mengerti agama dan memahami bacan-bacaan sholat dengan benar sudah tentu tahu
persis dan dapat membedakan siapa gerangan yang kualitas bacaannya lebih baik,
sehingga bagi yang berkualitas kurang, haruslah tahu diri dengan berkewajiban
untuk mendahulukan calon yang lebih memenuhi syarat.
Yang
sangat mungkin terjadi ialah bahwa di antara sesama jamaah tidak ada yang
saling mengenal akan kemampuan masing-masing orang untuk menjadi imam. Dalam
hal demikian, maka dengan semangat saling mendorong dan mendahulukan orang
lain, tentu dimungkinkan adanya mekanisme “kampanye” terbatas yang bersifat
terbuka. Dalam sholat berjamaah, “kampanye” dimaksud tentu dilakukan oleh orang
lain, yaitu semacam rekomendasi agar si A atau si B yang dipilih. Namun dalam
bidang mualamat, sistem kampanye dimaksud dapat saja dikembangkan secara
lebih rumit dan serius, semata-mata
untuk menjadi keterbukaan atau transparansi agar yang dipilih menjadi pemimpin
benar-benar orang yang memenuhi syarat dan sesuai dengan diharapkan oleh rakyat
atau jamaahnya.
Dengan demikian, tidak salah
bagi masyarakat modern sekarang ini untuk mengembangkan praktik pemilihan
pemimpin melalui pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan
rahasia seperti sekarang. Demikian pula pemilihan-pemilihan pejabat publik
melalui “fit-and-proper test” seperti
yang dipraktikkan dewasa ini juga dapat dibenarkan adanya. Hanya saja, roh atau
semangat pemilihan-pemilihan semacam itu haruslah benar-benar didasarkan atas
semangat saling mendorong dan mendahulukan orang-orang berkualitas dan yang
paling memenuhi syarat untuk menduduki jabatan yang tidak lain merupakan amanat
yang berisi tanggungjawab yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah pada
waktunya. Pendek kata, setiap jabatan adalah amanah yang berisi tanggungjawab
yang harus sudah seharusnya dipercayakan hanya kepada orang yang memenuhi
persyaratan, baik persyaratan spiritual dan moral, maupun persyaratan kapasitas
dan profesionalitas yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas dan tanggungjawab
jabatan itu.
Dalam
menjalankan tugas jabatannya itu, seseorang wajib bekerja dengan sebaik-baiknya
atau itqon’ untuk mencapai tujuan
dibentuknya organisasi atau jabatan itu. Di samping itu, setiap orang yang
dipercaya menjadi pemimpin haruslah berperan sebagai contoh atau teladan (uswatun hasanah), baik sebagai pribadi
maupun sebagai pejabat atau institusi yang diberi amanat dalam jabatan itu.
2. Kepemimpinan Sistem
Namun demikian, di samping
pengertian yang bersifat personal dan individual tersenut di atas, ajaran Islam
juga memberikan makna yang lain atas konsepsi pemimpin (al-imam) dan
kepemimpinan (imamah) itu. Pribadi pemimpin atau al-imam hanyalah contoh dan
teladan saja, bukan institusi pemimpin dan kepemimpinan yang sebenarnya. Jika
pribadi tokoh pemimpin atau pun pejabat itu dapat ditiru sebagai teladan, maka
tokoh yang bersangkutan pantas disebut sebagai al-imam, Akan tetapi, jika yang
bersangkutan tidak dapat dijadikan teladan atau bahkan dalam menjalankan
tugasnya ia melakukan hal-hal yang menyebabkan dirinya tidak lagi memenuhi
syarat sebagai pemimpin, maka jamaah diberi kesempatan bebas untuk memisahkan
diri dari barisan pemimpin yang batal itu.
Dalam jamaah sholat prinsip
yang demikian itu juga berlaku. Jika seorang imam batal wudhu dan para jamaah
tahu akan hal itu, atau sang imam diketahui salah dalam membaca al-Quran dan
bacaan-bacaan sholat lainnya, maka apabila imam tersebut sudah diingatkan oleh
jamaah akan kesalahannya itu sebagaimana mestinya tetapi tetap melanjutkan
kesalahannya, maka jamaah juga diperbolehkan dan bahkan diharuskan membentuk barisan
tersendiri. Anggota jamaah yang terdekat dan yang terdepan dapat bertindak
proaktif untuk tampil menjadi imam baru untuk meneruskan sholat jamaah yang
sedang berlangsung. Inilah yang biasa disebut sebagai ‘mufariq’ atau ‘mufaroqoh’ sebagai bentuk pemisahan diri dari imam
yang batal sholatnya.
Dengan perkataan lain, keberadaan
kepemimpinan personal itu sendiri diakui adanya, tetapi kepemimpinan personal
itu bukanlah penentu segala-galanya. Yang lebih menentukan adalah sistem aturan
yang berlaku mengikat untuk semua. Pada kedudukannya yang terpuncak, sistem
aturan yang dimaksud itu tidak lain adalah al-Quran sebagai wahyu dan
hadits-hadits nabi sebagai sunnah Rasul. Sedangkan kepemimpinan personal
hanyalah wayang yang bertindak sebagai teladan yang mencerminkan ketataan
kepada hukum-hukum yang berlaku berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah tersebut.
Oleh karena itu, secara simbolik yang juga biasa disebut sebagai pemimpin atau
al-Imam dalam Islam, justru adalah al-Quran sebagai sumber hokum tertinggi itu.
Hal ini dapat kita lihat
misalnya dalam pelbagai do’a yang diajarkan oleh nabi Muhammad atau yang tumbuh
dan berkembang dalam perkembangan Islam di kemudian hari bahwa al-Quran itulah
yang disebut sebagai al-Imam. Setiap orang Islam dituntut untuk meneguhkan
tekad “Aku ridho bahwa Allah lah Tuhanku, Islam lah agamaku, dan Muhammad lah
yang merupakan nabi dan Rasul bagiku, serta al-Quran lah imam atau pemimpin
bagiku” (Radhitu billahi Rabba, wa
bil-Islami diena, wabi Muhammadin nabiyya wa rasuula, wabil-Qurani imama).
Dari tekad demikian jelas lah bahwa al-Quran itu tiada lain adalah al-imam bagi
kita, sedangkan Muhammad merupakan Nabi dan Rasulullah sebagai ‘uswatun hasanah’ atau contoh dan teladan
bagi kaum yang beriman.
Secara
lebih tegas lagi, hal yang serupa juga dapat kita temukan dalam doa-doa yang
biasa dianjurkan kepada ummat Islam untuk dibaca pada setiap kali selesai
membaca atau mendengar al-Quran dibacakan. Doa dimaksud berbunyi, “Allahumma arhamna bil-quran, waj’alhu lana
imaman, wa nuuro, wa huda ,wa rahmah” (Ya Allah, rahmatilah kami dengan
al-Quran, dan jadikanlah al-Quran itu menjadi imam atau pemimpin, menjadi
cahaya, dan menjadi petunjuk, serta menjadi rahmat bagi kami). Kita mohon
kepada Allah agar menjadikan al-Quran itu sebagai imam, sebagai pemimpin yang
member petunjuk dan memberikan cahaya bagi kehidupan kita serta menjadi rahmat
bagi kita semua.
Dari
kedua hal itu, jelas bagi kita bahwa sesungguhnya, al-Quran itu lah yang harus
dipahami sebagai pemimpin bagi umat Islam. Sedangkan nabi Muhammad saw adalah ‘uswatun hasanah’, yang dapat dijadikan
teladan bagi kita dalam menaati ajaran-ajaran al-Quran itu. Dalam pengertian
yang demikian, al-Quran itu tidak lain merupakan perangkat sistem aturan dan
simbolisasi sistem nilai yang mengatur dan menjadi pedoman kehidupan bagi
orang-orang yang beriman. Pemimpin yang sebenarnya bagi segenap orang yang
beriman tidak lain adalah system aturan itu, bukan persona manusianya yang
menyandang gelar sebagai pemimpim, sebagai pejabat, sebagai ketua, sebagai
kepala, atau pun sebagai presiden dan sebutan-sebutan kepemimpinan lainnya.
Karena
itu, apa pun perintah yang datang dari al-Quran wajib ditaati, terlepas dari
siapa yang menyampaikan perintah itu. Sebaliknya, apa saja yang diperintahkan
oleh atasan kita atau pun oleh para pemimpin kita, berlaku mengikat dan wajib
ditaati hanya apabila perintah-perintah itu sejalan dengan perintah Allah dalam
al-Quran. Jika perintah atasan kita justru bertentangan dengan perintah
al-Quran, maka perintah demikian tidak wajib dan bahkan tidak boleh
dilaksanakan oleh bawahan. Dalam hal ini, pihak bawahan dilindungi oleh hukum
dari akibat ketidaktaatannya kepada perintah atasan yang melanggar hukum itu.
Misalnya, seorang bawahan tidak boleh dipecat oleh atasan hanya karena dia
melanggar perintah atasan, apabila ternyata perintah atasan itu justru
bertentangan dengan hukum. Ajaran Islam menegaskan tidak ada ketaatan dalam
kemaksiatan kepada Allah (la tho’ata li
makhluqin fi ma’siyati al-kholiq).
Pengertian
demikian ini sungguh sangat mirip dengan konsepsi modern yang tumbuh dalam
tradisi ‘common law’ tentang ‘rule of law’ ataupun dalam tradisi
‘civil law’ dengan istilah ‘rechtsstaat’ dari bahasa Jerman. Meskipun berbeda
arti dan latar belakang perkembangannya masing-masing, baik ‘rule of law’ maupun ‘rechtsstaat’ pada pokoknya sama-sama
merupakan konsep mengenai pemerintahan oleh hukum. Doktrin ‘rule of law’ ini secara kontras bahkan
biasa dipertegas dengan perkataan “the
rule of law, not of man”, yaitu bahwa pemerintahan itu adalah oleh hukum,
bukan oleh orang atau manusia. Dalam tradisi ‘civil law’, istilah lain yang biasa digunakan untuk pengertian yang
serupa adalah ‘rechtsstaat’ yang
berasal dari istilah bahasa Jerman dan Belanda. Konsep modern tentang Negara,
tidak lain adalah konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), bukan Negara Kekuasaan
(Machtsstaat). Kedua doktrin Negara Hukum dalam kedua tradisi hukum tersebut,
sebenarnya berkaitan erat dengan konsepsi klasik mengenai nomokrasi (nomocracy) yang berasal perkataan
‘nomos’ dan ‘kratien’ atau ‘cratos’.
Karena itu, banyak sarjana
yang mengembangkan pengertian bahwa konsepsi negara dalam tradisi Islam adalah
nomokrasi. Tahir Azhary, misalnya, lebih melihat konsepsi negara dalam Islam
sebagai nomokrasi daripada demokrasi yang dipandang banyak memiliki distorsi
dan kelemahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i. Jika dalam
demokrasi, yang dianggap berdaulat atau pemegang kekuasaan tertinggi adalah
rakyat (demos+cratos), maka dalam nomokrasi (nomos+cratos), yang berdaulat
adalah hukum, yaitu suatu perangkat sistem aturan yang didatangkan dari luar
kesadaran diri manusia itu sendiri. Dengan pandangan demikian, banyak kalangan
bahkan berpendapat bahwa Islam menentang demokrasi. Yang berdaulat dalam ajaran
Islam adalah Allah swt, bukan rakyat baik secara individualistis seperti dalam
paham liberalism-individualisme maupun secara kolektif seperti dalam ajaran
sosialisme-komunisme.
Dalam
ajaran Islam, yang berdaulat atau yang memegang kekuasaan tertinggi dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah Allah swt yang dalam praktiknya
sehari-hari tercermin dalam ketentuan-ketentuan hukum Allah dalam al-Quran dan
Sunnah Rasul. Dengan perkataan lain, prinsip ke-Maha-Kuasaan Tuhan atau
Kedaulatan Tuhan dijelmakan secara konkrit dalam paham Kedaulatan Hukum atau
Negara Hukum. Pandangan demikian inilah yang banyak dianut di kalangan ulama dan
kaum intelektual mazhab Syi’ah, sehingga berkembang konsep yang dinamakan “wilayat al-faqih” yang tercermin dalam
kekuasaan kaum ulama, para ayatollah seperti dalam praktik di Republik Islam
Iran. Konsep “wilayat al-faqih” ini
dapat pula dijadikan sandaran untuk menyatakan bahwa Islam lebih mengutamakan
ajaran kedaulatan hukum daripada ajaran kedaulatan rakyat.
Bahkan,
pandangan demikian ini pulalah yang meyakinkan banyak sarjana Muslim sendiri
bahwa sesungguhnya ajaran Islam itu memang menolak gagasan demokrasi. Bahkan
ada yang menyatakan bahwa sistem demokrasi itu haram dan kafir hukumnya.
Demokrasi berasal dari filsafat barat yang jelas bertentangan dengan pandangan
Islam. Secara ekstrim, pengertian seperti ini tercermin, misalnya, dalam
pandangan para penganut paham dan penganjur ide ‘khilafah Islamiyah’ dalam pengertian pemerintahan global yang
dikaitkan dengan pengertian masa kekhalifahan dunia Islam di masa sepeninggal
nabi Muhammad saw pada abad 6-13M. Dalam masyarakat kita dewasa ini, tidak
sedikit orang yang menganut paham demikian. Bahkan dewasa ini terdapat
organisasi pergerakan yang sangat aktif mengusul ide kekhilafahan dalam pengertiannya
yang demikian ini.
[1] Jimly Asshiddiqie, Islam
dan Tegaknya Negara Hukum Kita, Khutbah Idulfitri di Al-Azhar Jakarta, 1 Syawal
1429H.
No comments:
Post a Comment