Pertanyaan yang biasa
diajukan oleh banyak sarjana Muslim ialah apakah Islam memang mengenal konsep
mengenai negara yang bersifat khas? Apakah benar pandangan sebagian orang yang
menyatakan bahwa Islam menentang demokrasi?[1]
Beberapa sarjana Muslim seperti Nurcholish Madjid, Gus Dur, dan lain-lain,
misalnya, termasuk kaum intelektual yang biasa mengajukan tesis bahwa
sebenarnya Islam tidak memiliki sistem ajaran tersendiri mengenai bentuk negara
yang bersifat final. Karena itu, paham Negara Islam sebagai bentuk yang
tersendiri adalah utopia yang tidak berdasarkan doktrin maupun fakta empirik
dalam sejarah peradaban Islam sendiri. Bagi mereka ini, ajaran Islam jelas
mengandung prinsip-prinsip ajaran yang bersifat demokratis. Tetapi bagi
kelompok sarjana Muslim yang lain, konsep demokrasi itu dianggap berasal dari
barat dan karena itu harus ditolak tanpa diskusi.
Menurut pendapat saya, kita
harus memahami benar bahwa sebenarnya konsep demokrasi itu sendiri harus dibedakan
antara pengertiannya di zaman modern sekarang dengan perkembangan pengertiannya
yang berkembang dalam sejarah umat manusia sejak dari zaman Yunani kuno. Pada
mulanya, di zaman Plato dan Aristoteles, istilah demokrasi itu sendiri,
bukanlah sesuatu gagasan yang dianggap ideal. Di zaman itu, istilah demokrasi
itu bahkan dipandang sebagai penyimpangan dari konsep negara yang ideal. Yang dianggap ideal di zaman Yunan kuno
adalah plutokrasi, bukan demokrasi.
Di samping itu, Plato
sendiri menulis buku “Republics” dan
“Nomoi” (The Laws) yang berisi
impian-impiannya tentang negara ideal itu. Dari buku “Republics” inilah lahir
kemudian doktrin mengenai “The
philosophers King”, sedangkan dari buku “Nomoi” selanjutnya berkembang
doktrin mengenai nomokrasi dalam sejarah filsafat politik dan hukum. Ketika
itu, tidak ada pandangan yang mengagungkan ide demokrasi seperti yang
berkembang luas di zaman modern dewasa ini. Wacana demokrasi malah dihindari
karena dianggap sangat buruk.
Buruknya pengertian mengenai
demokrasi itu menyebabkan bahwa di masa-sama sesudahnya, istilah demokrasi juga
tidak pernah muncul dalam perbincangan mengenai konsep-konsep negara ideal
dalam sejarah. Sampai berkembangnya Islam di Timur Tengah pada abad ke-7 M,
istilah demokrasi itu juga belum dikenal dengan konotasi sebagai konsep yang
ideal. Bahkan, sampai abad ke 7 M itu, dalam sejarah politik umat manusia belum
dikenal adanya sistem pergantian kekuasaan tidak dengan berdasarkan hubungan
darah. Bahkan dalam konsep negara republik yang digambarkan oleh Plato dalam
bukunya “Republics”, yang memimpin
negara ideal itu tetap lah seorang Raja, yaitu Raja yang filosof atau Raja yang
memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dan kualitas pemikiran di atas
rakyatnya atau di atas warga masyarakatnya.
Di sepanjang sejarah sampai
ke masa nabi Muhammad memimpin komunitas Muslim di Madinah, tidak dikenal
adanya pemimpin yang tidak diangkat berdasarkan keturunan. Sejak usia 40 tahun,
Muhammad mendapatkan wahyu dari Allah dan mendapatkan kepercayaan warga untuk
memimpin jamaah kaum yang beriman dalam bermasyarakat dan berorganisasi. Dalam
kapasitas kepemimpinannya di tengah-tengah masyarakat kota Madinah setelah
peristiwa Isra’ dan Mi’raj, nabi Muhammad tidak ubahnya berfungsi ganda, di
satu pihak sebagai Nabi dan Rasul, tetapi pada saat yang sama ia juga menjadi
pemimpin ‘negara’ seperti dalam pengertian modern dewasa ini.
Nabi Muhammad saw lahir
menjadi nabi dan rasul serta menjadi pemimpin komunitas dan organisasi
masyarakatnya atau negara, bukan karena ia merupakan keturunan nabi atau rasul
sebelumnya seperti nabi Ismail, nabi Ishak, dan sebagainya. Muhammad juga bukan
merupakan keturunan Raja yang berkuasa sebelumnya. Ia adalah orang biasa yang
kemudian terpilih menjadi nabi dan rasul serta terpilih melalui kesuksesan
usaha dakwahnya sendiri menjadi pemimpin masyarakat kota Madinah. Kemudian,
kepemimpinannya terus berkembang karena jumlah jamaahnya terus meningkat, dan
jangkauan wilayah yang dikuasainya terus meluas ke kota-kota lain di luar kota Madinah.
Karena itu, dapat dikatakan, Muhammad lah yang lahir menjadi pemimpin pertama
organisasi kekuasaan “negara” yang tidak berdasarkan keturunan darah.
Karena itu, sesudah nabi
Muhammad saw wafat, timbul masalah mengenai proses pergantian kepemimpinan
pengganti beliau selanjutnya. Lagi pula, al-Quran dan hadits-hadits yang
ditinggalkan oleh nabi, sama sekali tidak memberikan pedoman teknis untuk
melakukan proses penggantian itu dengan mekanisme tertentu. Akhirnya para
sahabat nabi harus merumuskan dan menentukan sendiri mekanisme pergantian
kepemimpinan itu berdasarkan kesepakatan bersama. Pada tahap awal perkembangan
sistem politik yang dibangun secara empirik dalam praktik di masa
khulafaurrasyidin, mekanisme pergantian itupun berkembang mengikuti kebutuhan
dan kesepakatan bersama.
Pengangkatan atau pemilihan
Khalifah Abubakar Siddik jelas berbeda dari cara pemilihan atau pengangkatan
Khalifah Umar ibn Khattab. Demikian pula pada pergantian dari Khalifah Umar ke
Khalifah Usman ibn Affan, dan dari Usman ibn Affan ke Ali ibn Abi Thalib, jelas
berbeda-beda satu dengan yang lain. Mekanisme pergantian kepemimpinan pada
periode khalifaurrasyidin sama sekali belum berpola secara tetap. Namun, meski
belum berpola secara tetap, yang pasti ialah pergantian dari nabi ke Abubakar,
lalu ke Umar, kemudian ke Usman, ke Ali ibn Abi Thalib, dan terakhir ke
Khalifah Mu’awiyah ibn Abi Sofyan, tidaklah didasarkan atas prinsip keturunan.
Sistem keturunan baru terjadi lagi, sesudah kepemimpinan Mu’awiyah ibn Abi
Sofyan yang diteruskan oleh puteranya.
Inilah periode ideal sistem
politik baru yang diperkenalkan oleh kaum Muslimin dalam enam pola kepemimpinan
pada abad ke 6M. Di zaman Plato, konsep republik yang diidealkannya masih tetap
dipimpin oleh raja dengan keturunan-keturunannya berdasarkan prinsip hubungan
darah. Tetapi di masa nabi Muhammad dan para sahabat generasi pertama,
pergantian kepemimpinan tidak lagi didasarkan atas keturunan darah. Lalu
bagaimanakah proses peralihan kepemimpinan itu terjadi dalam praktik abad ke-6
itu?
Nabi Muhammad sendiri diakui
sebagai pemimpin oleh jamaahnya semata-mata hanya didasarkan atas adanya ‘social-trust’ yang timbul dari
pengalaman praktik kepemimpinan bermasyarakat. Warga masyarakat percaya
kepadanya sehingga ia disebut sebagai “al-amin”
jauh sejak Muhammad belum diangkat menjadi Rasul oleh Allah swt. Kepercayaan
itu tumbuh dan berkembang, tidak saja dari kalangan yang beriman, tetapi juga
dari kalangan yang tidak beriman. Ketika menjadi pemimpin di kota Madinah,
Muhammad tidak saja dipercaya sebagai pemimpin oleh kaum Muslimin, tetapi juga
oleh semua kalangan yang sama-sama mengikatkan diri dalam perjanjian bersama
Piagam Madinah.
Karena itu, dapat dikatakan
bahwa Muhammad adalah pemimpin pertama yang lahir dari praktik demokrasi dalam
sejarah umat manusia. Sesudah itu, adalah Abubakar Siddik yang kemudian
dibai’at oleh para sahabat yang dimotori oleh Umar ibn Khattab untuk bertindak
sebagai pemimpin pengganti nabi, atau disebut “khalifatu al-rasul” atau
pengganti rasul. Sistem “bai’at” itu
jika kita dalami pengertiannya, tidak lain merupakan mekanisme pemilihan umum
atau pemilihan demokratis seperti yang kita kenal di zaman modern dewasa ini.
Ketika Khalifah Abubakar Siddik wafat, maka ia digantikan oleh Umar ibn Khattab
yang dipilih secara musyawarah oleh “ahlul halli wal ‘aqdi” yang terdiri atas
beberapa orang sahabat. Para sahabat yang duduk dalam keanggotaan “ahlul halli
wal ‘aqdi” itu tidak ubahnya sebagai lembaga perwakilan seperti yang kita kenal
dewasa ini. Dari kedua pola pemilihan khalifah rasul, yaitu Khalifah Abubakar
Siddik dan Khalifah Umar ibn Khattab tersebut, kita dapat merumuskan adanya
sistem pemilihan langsung dan sistem pemilihan tidak langsung atau perwakilan
yang dipraktikkan di masa awal pertumbuhan Islam.
Selain itu, dalam praktik
kepemimpinan Rasulullah, dikenal pula adanya sistem permusyawaratan yang
digunakan nabi dalam setiap proses pengambilan keputusan mengenai urusan-urusan
publik. Di luar urusan wahyu dari Allah swt, nabi Muhammad dikenal tidak pernah
mengambil keputusan apa pun juga kecuali melalui musyawarah dengan sesama para
sahabat. Bahkan, untuk urusan-urusan yang penting dan menyangkut kepentingan
orang banyak dan masyarakat yang luas, Rasulullah selalu mengundang tokoh-tokoh
sahabat yang berasal dari kabilah, suku, atau pun kalangan-kalangan yang
bersangkutan untuk diajak bermusyawarah. Itu lah sebabnya maka dalam al-Quran
terdapat 2 (dua) ayat yang sangat penting mengenai prinsip musyawarah itu.
Dalam QS. dinyatakan,
“Wasyawirhum fil-amri” (Dan bermusyawarah lah kamu dalam urusan-urusan yang
kamu hadapi). Kemudian dalam QS ditegaskan pula, “Wa amruhum syuro bainahum”
(Dan dalam urusan-urusan mereka, mereka saling bermusyawarah satu sama lain).
Pada suatu hari, ketika jumlah umat Islam sudah bertambah banyak di kota
Madinah, dan untuk menjaga agar kepentingan perbelanjaan umat Islam dapat
diatasi sendiri oleh kaum Muslimin, maka oleh nabi diundanglah pertemuan di
masjid untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pasar. Salah satu
kesimpulan dan keputusan yang diambil oleh Rasulullah dari pertemuan itu adalah
keputusan untuk mendirikan pasar yang dikelola sendiri oleh umat Islam. Dengan
begitu, kaum Muslimin tidak akan tergantung kepada pasar yang dikendalikan oleh
orang Yahudi yang anti Islam ketika itu. Keputusan itu diambil melalui
musyawarah bersama dengan melibatkan wakil-wakil berbagai kelompok umat Islam,
yang dapat kita ibaratkan seakan-akan merupakan pembicaraan mengenai kebijakan
legislasi di lembaga perwakilan modern untuk memutuskan dibentuknya pasar dan
kebijakan ekonomi untuk kepentingan bersama.
Banyak sekali contoh-contoh
yang dapat dikemukakan mengenai praktik pengambilan keputusan dalam
urusan-urusan kehidupan bersama di masa nabi Muhammad, dan di masa
khulafaurrasyidin yang semuanya dilakukan dengan musyawarah. Artinya, dalam
urusan duniawi dan mu’amalat, nabi Muhammad tidak pernah membuat keputusan
sendiri tanpa musyawarah. Selain itu, dalam urusan-urusan duniawi itu, proses
pengambilan keputusan selalu melibatkan konstituen atau pun para pemangku
kepentingan (stake-holders) yang
terkait. Jika diperhatikan, sebenarnya, mekanisme pengambilan keputusan seperti
yang demikian ini jugalah yang dipraktikkan oleh sistem demokrasi modern dalam
mengambil keputusan politik untuk kepentingan bersama.
Mengapa permusyawaratan
dianggap sangat penting dalam sistem sosial Islam? Alasan konseptualnya jelas,
karena Islam sangat menekankan kedudukan setiap manusia sebagai pribadi yang
otonom, yang masing-masing orang per orang diberi predikat sebagai ‘khalifah’ Allah
di atas muka bumi. Berbeda dari pengertian ‘khalifah rasul’, ‘khalifah Allah’
adalah konsep tentang seluruh umat manusia yang dipandang sebagai khalifah atau
pengganti Tuhan untuk mengolah dan mengelola kehidupan di atas muka bumi.
Dengan status yang sama sebagai khalifah Tuhan, maka setiap manusia bersifat
otonom, berkesamaan dan bersifat egaliter. Oleh sebab itu, dalam proses
pengambilan keputusan untuk kepentingan yang sama, semua orang harus
diperlakukan sama (equal treatment),
tidak boleh ada diskriminasi atas dasar ras dan kesukuan. Bahkan, diskriminasi
juga dilarang atas dasar perbedaan jenis kelamin maupun perbedaan keyakinan
beragama.
Karena alasan demikian
itulah maka musyawarah menjadi sangat penting. Tidak ada keputusan untuk
kepentingan bersama yang dapat diambil tanpa adanya permusyawaratan. Dari
permusyawaratan itulah ragam nilai kebenaran dan aneka kepentingan serta
pandangan dapat diperbincangkan bersama untuk mencapai kesatuan pandangan
tentang sesuatu yang benar, baik dan tepat untuk diputuskan. Melalui
permusyawaratan semacam itu substansi kebenaran dan keadilan akan jauh mendapat
penghargaan di atas jumlah suara yang menjadi dasar pengambilan keputusan yang
bersifat procedural. Melalui proses musyawarah itu pula demokrasi substantive
dapat dibangun dan dikembangkan di atas demokrasi yang hanya bersifat
procedural. Pendek kata, sistem permusyawaratan yang ditekankan dalam tradisi
Islam itu justru menggambarkan konsep yang ideal tentang konsep demokrasi yang
sebenarnya sebagaimana dipahami dalam sistem modern sekarang ini. Demokrasi
yang berkualitas, tidak saja bersifat procedural (procedural democracy), tetapi juga harus bersifat substantive (substantive democracy).
Jika setiap orang
diperlakukan bersifat otonom dengan kedudukan yang sama sebagai subjek khalifah
Tuhan dalam kehidupan, maka pengertian kita tentang kekuasaan dapat dikaitkan
dengan pengertian kedaulatan rakyat atau kedaulatan setiap manusia dalam
mengolah dan mengelola kehidupan bersama. “All
men are created equal”, dan semuanya atas nama Tuhan mempunyai kedudukan
sebagai khalifatullah. Karena itu, prinsip ke-Maha-Kuasaan Tuhan dalam
praktiknya dapat terjelma dalam prinsip kedaulatan manusia, atau kedaulatan
rakyat. Artinya, pemahaman agama tentang kekuasaan tertinggi yang berasal dari
Allah swt tidak perlu dipertentangkan dengan pengertian kedaulatan rakyat atau
demokrasi. Tuhan Yang Maha Kuasa itu, dalam praktik konkritnya, justru terjelma
dalam paham kedaulatan rakyat. Karena itu, muncul adagium yang menyatakan
“Suara rakyat adalah suara Tuhan”. Pernyataan ini tidak boleh ditafsirkan
seolah-olah rakyat dipertuhankan atau rakyat diidentikkan dengan Tuhan.
Pernyataan itu haruslah dipahami dalam maknanya yang bersifat simbolik bahwa
suara rakyat itu merupakan penjelmaan konkrit dari suara Tuhan Yang Maha
Berkuasa atas manusia.
Tentu saja, apa yang
dipraktikkan oleh nabi Muhammad dan para sahabat di zamannya itu sama sekali
belum atau tidak disebut dengan istilah demokrasi seperti dewasa ini. Apalagi,
sampai ke zaman nabi Muhammad, istilah demokrasi itu sendiri pun belum berubah
dan berkembang menjadi istilah yang dipandang positif dan ideal. Istilah
demokrasi dalam pengertian yang ideal baru timbul dalam sejarah modern, sesudah
adanya pengalaman praktik selama berabad-abad dalam sejarah politik Islam
sampai abad ke-13M yang menggambarkan ide-ide dan prinsip-prisnip yang
dikemudian hari kita kenal dengan istilah demokrasi dengan memanfaatkan istilah
Yunani kuno yang dulunya pernah dihindari karena dianggap negatif.
Apa
yang kita pahami dewasa ini sebagai prinsip-prinsip demokrasi, sudah
dipraktikkan dalam sejarah Islam, bahkan dimulai sejak zaman nabi Muhammad
sendiri. Nabi Muhammad lah tampil menjadi pemimpin tidak berdasarkan keturunan
dan kemudian diteruskan kepemimpinannya oleh orang lain juga tidak berdasarkan
keturunan. Khalifah Abubakar Siddik lah yang dapat dipandang sebagai khalifah
atau pemimpin pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yaitu melalui
mekanisme bai’at yang dimotori oleh Umar ibn Khattab dan kemudian diikuti oleh
semua sahabat sepeninggal nabi Muhammad. Nabi Muhammad pula yang pertama
mempraktikkan sistem permusyawaratan berdasarkan sistem perwakilan antar suku
dan kabilah serta antar kalangan warga dalam mengambil keputusan-keputusan
penting menyangkut pelbagai kepentingan bersama.
Dari praktik-praktik empiris
yang demikian, tidak dapat tidak kita harus mengakui bahwa sebenarnya Islam lah
yang justru pada awalnya mempelopori dipraktikkannya ide-ide dan
prinsip-prinsip demokrasi yang dikenal di zaman modern dewasa ini. Orang Islam
yang menolak ide demokrasi dewasa ini jelas karena mereka memberi makna yang
salah kepada istilah demokrasi itu sendiri yang secara simbolik dianggap
mewakili atau mencerminkan pandangan yang berasal dari peradaban barat. Padahal
istilah demokrasi itu sendiri bukan berasal dari mana-mana. Dalam pengalaman
praktik di barat sendiri, yaitu di Yunani kuno, perkataan demokrasi itu justru
pada mulanya tidak dianggap positif dan ideal melainkan sangat negatif dan
buruk. Konsep demokrasi baru dipandang baik dan ideal karena ditemukannya
pelbagai ide dan prinsip dalam praktik di sepanjang sejarah umat manusia sejak
zaman awal perkembangan Islam yang kemudian dianggap tepat untuk disebut dengan
istilah demokrasi.
Karena itu, bagi orang Islam.
menolak ide demokrasi itu sebenarnya dapat diibaratkan sebagai orang Arab yang
menerjemahkan kata alcohol dalam kamus Arab modern dengan tanpa menyadari bahwa
asal kata ‘alcohol’ sendiri pada mulanya justru berasal dari bahasa Arab
sendiri. Tentang kata demokrasi, tentu harus diakui ia berasal dari bahasa
Yunani kuno, tetapi pemberian makna yang bersifat positif atas kata demokrasi
itu pada mulanya justru berasal dari praktik-praktik baru yang dikembangkan
oleh umat Islam sendiri sejak zaman nabi Muhammad dan periode
khulafaurrasyidin.
Lagi pula, dalam bahasa
pergaulan umat manusia di zaman sekarang, tidak banyak lagi bangsa (untuk tidak
menyebutnya tidak ada lagi orang atau bangsa) yang secara retorik tidak
mengklaim menganut paham demokrasi. Demokrasi dan bahkan hak asasi manusia
praktis sudah menjadi bahasa dunia, bahasa pergaulan dalam bernegara dan dalam
pergaulan antar negara. Karena itu, daripada menolak sesuatu yang sudah menjadi
milik bersama umat manusia, jauh lebih produktif bagi siapapun juga untuk ikut
serta berlomba-lomba memberikan makna yang tepat dan benar mengenai konsep
demokrasi menurut ukuran filosofi dan keyakinan-keyakinan kita masing-masing.
Dengan perkataan lain, tidak
salah bagi kaum Muslimin untuk berpendirian bahwa konsep demokrasi tidak
bertentangan dan bahkan sangat sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Malah dari uraian di atas kita juga dapat berkesimpulan bahwa Islam lah yang
justru pertama kali menumbuh-suburkan praktik ideal mengenai apa yang di
kemudian hari dinamakan orang dengan demokrasi. Karena itu, Islam itu sangat
demokratis, dan demokrasi itu sendiri dapat dianggap sangat Islamis. Dalam
praktik dewasa ini, Negara-negara besar anggota Organisasi Konferensi Islam
juga sebagian besar telah mengadopsikan ide-ide dan prinsip-prinsip demokrasi
itu dalam praktik sistem ketatanegaraan masing-masing. Negara-negara
berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia, Turki, Pakistan, Mesir, dan
bahkan Iran dapat dipandang cukup berhasil dalam menerapkan sistem demokrasi itu
dalam praktik. Bahkan, dengan suksesnya sistem demokrasi yang dikembangkan di
Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia semakin membuktikan bahwa
Islam dan Demokrasi dapat berjalan beriringan satu dengan yang lain.
No comments:
Post a Comment